Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Krisis Hukum dan Keadilan Negeri Ibu Pertiwi

Indonesia Darurat Hukum dan Keadilan



Pasal 1 UUD 1945 jelas mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, sehingga konsekuensi yang timbul menyebabkan Indonesia memiliki aturan-aturan tertulis yang digunakan untuk mengatur dan menciptakan ketertiban bagi masyarakatnya. Aturan-aturan yang dirumuskan kedalam bentuk peraturan dalam penegakannya diharapkan dapat memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Indonesia saat ini sedang mengalami krisis dalam penegakan hukum (law enforcement). Fenomena tersebut dapat dilihat ketika dalam penegakan hukum, kepastian hukum lebih diutamakan daripada keadilan atau kemanfaatan hukum itu sendiri. Salah satu contoh kasus yang bisa ditelaah yaitu kasus Mbah Minah yang mencuri 3 biji kakao dari perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan 4.

Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian hukum dan kegunaan. Apabila, dalam penegakan hukum cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser nilai keadilan dan kegunaan. Hal ini dikarenakan, di dalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan. Begitu juga ketika nilai kegunaan lebih diutamakan, maka nilai kegunaan akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut berguna bagi masyarakat. Demikian juga, ketika yang diperhatikan hanya nilai keadilan, maka akan menggeser nilai kepastian hukum dan kegunaan. Sehingga, dalam penegakan hukum harus ada keseimbangan antara ketiga nilai tersebut.
Ketiga nilai hukum tersebut tidak dapat diterapkan secara seimbang oleh aparat penegak hukum ketika mereka menangani kasus Mbah Minah yang dituduh mencuri 3 biji kakao dari perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan 4. Di dalam persidangannya, Minah menuturkan bahwa tiga biji kakao tersebut untuk menambah bibit tanaman kakao di kebunnya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Minah mengaku sudah menanam 200 bibit pohon kakao di kebunnya, tetapi ia merasa jumlah itu masih kurang. Namun, belum sempat buah tersebut dibawa pulang, seorang mandor perkebunan, Sutarno, menegurnya. Minah lantas meminta maaf dan meminta Sutarno untuk membawa ketiga buah kakao tersebut. Alih-alih permintaan maafnya diterima, manajemen PT RSA 4 malah melaporkan Minah ke Kepolisian Sektor Ajibarang.
Kalau melihat kasus Minah, dapat disimpulkan bahwa aparat penegak hukum mengutamakan kepastian hukum dalam penegakan hukumnya tanpa memperhatikan rasa keadilan. Penegakan hukum yang diartikan oleh para aparat penegak hukum yang menangani kasus Minah adalah Penegakan hukum secara tekstual yaitu mengartikan perbuatan Minah sebagai pencurian. Padahal kalau mau dihitung, harga buah kakao tersebut lebih murah dibandingkan biaya perkara yang harus dikeluarkan untuk menangani kasus tersebut. Selain itu, motif Minah adalah potret dari kemiskinan. Kalau ada yang mau dihukum, seharusnya Negara karena tidak dapat menjalankan fungsinya yaitu mensejahterakan rakyat.


Post a Comment for "Krisis Hukum dan Keadilan Negeri Ibu Pertiwi"