Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DIBALIK ANCAMAN ISU PRIMORDIALISME (PUTRA DAERAH ) DI ERA OTONOMI DAERAH

Seiring dengan semakin dekatnya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Banyuasin, Sumatera Selatan pada Juni 2013 mendatang, suhu politik di kabupaten yang berjuluk Bumi Sedulang Setudung ini semakin hangat. Beberapa nama yang dipastikan maju sebagai bakal calon bupati antara lain Yan Anton Ferdian (Ketua DPD Partai Golkar Banyuasin), Askolani (Ketua DPC PDIP Banyuasin), Hazuar Bidui (Ketua Ikatan Keluaga Banyuasin), A. Rachman Hasan (Wakil Bupati/ Ketua DPC Partai Demokrat), dan Slamet Soemensentono (DPRD Sumsel Dapil Banyuasin dan Muba). Munculnya nama-nama tersebut tentu tidak terlepas dari aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat. Aspirasi tersebut merupakan keinginan masyarakat agar Banyuasin ke depan menjadi Banyuasin yang sejahtera dan berkeadilan.
Berkaitan dengan itu, berkembang juga aspirasi agar pemimpin Banyuasin pasca-Amiruddin Inoed yang telah memimpin Banyuasin selama dua periode itu haruslah putra daerah. Pengacara kawakan Alamsyah Hanafiah misalnya, menilai bahwa kepemimpinan putra daerah akan lebih baik karena wujud kecintaan putra daerah terhadap kemajuan dan pembangunan tanah kelahirannya akan lebih besar bila dibandingkan mereka yang bukan putra daerah. Alamsyah juga berpendapat, jika pemimpin yang dipilih merupakan putra daerah, dia akan tahu bagaimana peta permasalahan, perkembangan adat istiadat, ekonomi, dan kultur masyarakat.(Irwan  P. Ratu Bangsawan)
Memang harus diakui bahwa secara regulasi tidak ada alasan yang dapat digunakan untuk melarang warga dari daerah atau etnis lain untuk memimpin suatu daerah. Tidak ada satu pun aturan yang mensyaratkan bahwa kepala daerah haruslah putra daerah setempat. Belum lagi kerumitan merumuskan definisi putra daerah. Namun, isu putra daerah ini memang kerap muncul setiap kali Pemilukada digelar di wilayah manapun. Munculnya isu tersebut tentu saja harus disikapi secara arif oleh elit politik yang ada. Alasan bahwa regulasi memang tidak mengatur kewajiban partai politik untuk mengusung putra daerah, tentu tidak dapat diterima begitu saja oleh masyarakat.
Munculnya isu putra daerah mau tidak mau membuat persaingan menuju kursi nomor 1 di Banyuasin semakin panas. Kuatnya isu ini tentu akan menghadang laju A. Rachman Hasan, yang notabene bukanlah putra daerah. Bakal calon yang akan diusung Partai Demokrat ini, diprediksikan tidak akan dengan mudah memenangkan perebutan posisi orang nomor satu di Banyuasin. Hadirnya Hazuar Bidui, Askolani dan calon bupati lainnya sebagai putra daerah Banyuasin dalam perebutan kandidat Bupati merupakan tantangan yang tidak mudah untuk dilalui oleh Wakil Bupati Banyuasin itu.
Kelebihan para calon asli Banyuasin tersebut adalah mereka sangat mengenal daerah dan karakteristik masyarakat Banyuasin, di samping keduanya juga dikenal dekat dengan keseharian masyarakat. Jadi, mereka memiliki kekuatan akar rumput (grass root) yang tidak mudah untuk disingkirkan. Keduanya juga dikenal luas bukan dari banyaknya baliho yang terpasang, melainkan dari kerja kemasyarakatan yang telah lama mereka lakukan.
Isu putra daerah sesungguhnya merupakan isu yang sudah cukup usang. Jadi, para kandidat kepala daerah Banyuasin jangan terpaku pada perdebatan putra daerah dan bukan putra daerah, tapi harus pada transaksi gagasan dalam membangun dan membenahi Banyuasin ke depan. Kemampuan dalam transaksi gagasan oleh para kandidat tersebut sejatinya akan mampu mendongkrak elektabilitasnya.
Para bakal calon kepala daerah Banyuasin harus hati-hati dalam mengangkat isu putra daerah dan bukan putra daerah. Sebab sebagai daerah yang multietnis, Banyuasin merupakan milik semua golongan. Penggunaan isu ini secara berlebihan akan menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Bila tidak ditata secara arif, bukan tidak mungkin penggunaan isu putra daerah dapat menjadi bumerang bagi sang kandidat.
Akhirnya, sebagaimana diungkapkan Rustinah (2008), diskusi tentang putra daerah versus bukan putra daerah boleh jadi penting, tetapi bukan segalanya. Menurutnya, soal putra daerah atau bukan sebetulnya perkara sekunder belaka. Sementara yang lebih primer adalah kelayakan kepemimpinan sang kandidat. Pemilih yang hanya menimbang “keaslian darah” sang kandidat berarti menjebak diri menjadi “pemilih primordial”. Mereka belum menjadi “pemilih rasional-kalkulatif,” yang menimbang perkara putra daerah dalam kaitan dengan kualitas kelayakan kepemimpinan sang kandidat.
Pemilih rasional-kalkulatif, sambil menimbang asal daerah kandidat, mempersoalkan seberapa jauh sang kandidat terbukti memiliki pemahaman, pengetahuan dan empati yang layak terhadap persoalan-persoalan daerah. Seberapa realistis dan menjanjikan rancangan program dan kebijakan-kebijakan yang ditawarkannya, seberapa jauh pula ia bisa dipercaya, terutama dikaitkan dengan rekam jejak karier politik dan ekonominya, adakah jejak korupsi (politik dan/atau ekonomi) dalam karier itu yang saat ini merajela di dunia perpolitikan, seberapa besar kemauan dan komitmen sang kandidat untuk bekerja keras dan mewakafkan seluruh waktunya sebagai pemimpin daerah, ataupun seberapa mampu ia membangun kepemimpinan kolektif yang profesional, kompeten, dan berintegritas. Hal-hal tersebut yang seharusnya lebih dipertimbangkan untuk memilih pemimpin yang lebih profesional dibandingkan hanya bermodalkan tanah kelahiran. Apalagi banyaknya juga kasus korupsi yang menimpa para putra daerah di daerah kekuasaannya, seperti Syarial Oesman yang merupakan mantan Gubernur Sumatera Selatan yang ditangkap karena kasus korupsi Pelabuhan Tanjung Api-api.
Namun, budaya primodialisme yang telah dianut oleh masyarakat itu dapat menjadi hal yang demokratis yang seharusnya lebih mempertimbangkan masalah keprofesionalisannya dalam memegang peranan untuk menjalankan rumah tangga daerahnya sendiri.

Oleh karena itu, agar proses jalannya pemerintahan sesuai dengan tujuan yang diharapkan yaitu mencapai tujuan negara, maka bagi masyarakat dan pemerintah untuk dapat mempertimbangkan lagi segala sesuatu yang telah kami buat dalam karya tulis kami ini untuk dipergunakan seperlunya dalam mempertimbangkan dampak apa saja yang terjadi jika prinsip untuk memilih putra daerah itu lebih dipilih dibandingkan dengan demokrasi yang sebenarnya  dilaksanakan.

Post a Comment for "DIBALIK ANCAMAN ISU PRIMORDIALISME (PUTRA DAERAH ) DI ERA OTONOMI DAERAH "