Cinta Yang Kuat
Pada bagian ke satu, telah dikutipkan surat Aali Imraan/3:31 yang terjemahannya sebagai
berikut, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi
dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah.”
Dalam kehidupan ini banyak orang yang tidak bisa membedakan antara kata “mengikuti” dan
“meniru”. Yang diperintahkan kepada umat manusia adalah “mengikuti” atau “ittiba‘”, bukan meniru.
Hal ini jelas, karena manusia bukanlah hewan. Manusia adalah sebuah kepribadian yang bisa tumbuh
dan berkembang. Manusia adalah kepribadian yang dapat tumbuh dewasa. Mula-mula manusia tumbuh
menjadi “kanak-kanak” yang sifatnya hanya meniru. Ia berusaha meniru perilaku di lingkungannya.
Dalam bahasa agama, ia dikatakan tumbuh secara “taqlid”.
Mengapa peniruan oleh kanak-kanak ini disebut taqlid? Karena tahap pemikiran kanak-kanak
belum berkembang dengan baik. Sedangkan meniru adalah tahap pertama dalam proses pendewasaan
pribadinya. Kanak-kanak ingin melakukan apa saja yang dilihatnya. Ia belum bisa mengerti alasan
mengapa perbuatan tertentu dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya. Seandainya kanak-kanak itu
bisa berjanggut, maka ia akan memelihara janggutnya bila orang-orang di sekitarnya berjanggut.
Contoh yang paling konkret dalam bertaklid adalah “merokok”. Perbuatan merokok yang dilakukan
oleh para remaja adalah produk dari taklid. Akhirnya, perbuatan ini menjadi kebiasaan sampai dewasa
dan tua, mungkin seumur hidupnya.
Banyak sekali perbuatan agamis kita ini juga hasil dari taklid ketika kita masih kecil atau
ketika kita bersentuhan pertama kali dengan ajaran-ajaran agama. Kalau toh sekarang ini kita mengaji
Al-Quran dan Al-Hadis, lebih banyak ayat-ayat itu sebagai pembenaran atau “justifikasi” bagi
kepercayaan atau perbuatan yang telah kita lakukan. Sebaliknya, kita ini jarang sekali yang menelaah
Al Quran dan Al Hadis untuk melahirkan suatu produk yang berupa perbuatan etika (sopan-santun),
estetika (keindahan), dan spiritual (semangat hidup) yang unggul. Semenjak mandegnya kemunculan
tokoh-tokoh besar Islam 1.000 tahun yang lalu, praktis umat Islam hanya bertaklid kepada mereka.
Perbedaan-perbedaan yang muncul dari sikap taklid ini tidak menghasilkan rahmat bagi umat
Islam. Bahkan sering perbedaan ini menjadi bencana atau mala petaka bagi umat. Mengapa demikian?
Karena perbedaan itu tidak tumbuh dari pencarian. Perbedaan yang tumbuh dari peniruan, akan
melahirkan “claim-claim” kebenaran. Banyak orang yang beranggapan bahwa apa yang ditirunya
(bukan diikutinya, sekali lagi bukan diikutinya) sebagai yang paling benar. Akhirnya, orang berebut
benar sendiri. Orang lain yang tidak sepaham atau seperti apa yang ditirunya dianggap berada dalam
jalan yang salah. Ia merasa telah berada di atas dalil yang benar; padahal dalil tadi hanyalah intepretasi
atau paham mursyid, gurunya.
Nah, tasawuf mengajak kita untuk beramal dengan arif. Tasawuf mengajak kita untuk mencari
hikmah Allah. Tak ada kampus atau sekolahan di dunia ini yang memberikan pelajaran hikmah atau
“wisdom”. Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, karena itu marilah kita cari, dan di mana
pun ia berada harus kita temukan, dan kita ambil. Kitasusuri melalui jalur syariat, kita gunakan cara
(tarekat) untuk menemukannya. Lalu kita pahami hakikatnya, dan lahirlah hikmah. Dengan hikmah
yang diberikan kepada kita maka kita memperoleh kebajikan yang banyak. Akhirnya, dada kita terasa
lapang. Dan, lapang dada adalah sarana untuk mendapatkan hikmah.
Post a Comment for "Cinta Yang Kuat"