Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cinta Sejati Itu Datangnya Dari Allah






Utsman diangkat sebagai khalifah yang ke tiga. Di zaman pemerintahannya berkecamuk
berbagai fitnah dan hasudan. Kelembutan jiwanya tak diragukan lagi. Dia tetap tidak mau
menggunakan tindak kekerasan dan kekuatan bersenjata dalam menghadapi fitnah. Seandainya harus
terjadi pertumpahan darah, dia memilih darahnya sendiri yang harus tertumpah, dan bukan darah kaum
muslimin. Ketika pemberontak mengepung rumahnya sambil menghunus pedang, sedangkan baginya
terbuka untuk menumpasnya, dia tetap menolak untuk melakukan pembasmian itu dengan ucapan:
“Saya tak mau menemui Allah sedang di pundak saya ada percikan darah dari seorang Muslim.”
Khalifah Ali mewarisi pemerintahan yang penuh kekacauan. Namun dia hadapi semua itu
dengan penuh ketenangan. Meskipun para pejabatnya menyediakan istana negara yang megah dan
besar, dia menolaknya untuk menghuni di istana itu. Ini tidak berarti sekarang seorang presiden harus
meninggalkan istana negara. Tetapi, hal ini menunjukkan bahwa seorang kepala negara harus
memperhatikan keadaan warganya. Para khalifah adalah orang-orang yang lebih mementingkan
umatnya daripada dirinya. Karena itu Ali pun lebih memilih cara-cara yang layak sesuai kondisi rakyat.
Dia memberi petunjuk orang-orang yang melakukan kesalahan, dan memberi bantuan kepada yang
lemah. Meskipun sebagai khalifah, suatu saat Ali tetap membawakan barang kebutuhan orang-orang
tua yang dia jumpai. Ketika sahabat-sahabat yang tahu hal ini hendak mengambil alih bawaan itu, Ali
menolak sambil menyitir Al Quran: “Negeri Akhirat itu Kami jadikan bagi orang -orang yang tidak
ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu bagi
orang-orang yang bertakwa.” (Al Qashash/28:83)
Ketika di Syam, Muawiyah menghasut masyarakat untuk mencaci maki dan mengutuk Ali, di
Kufah khalifah mencegah rakyatnya untuk membalas mencaci maki Muawiyah, dan menimnta
rakyatnya untuk berdoa: “Ya Allah, peliharalah darah kami dan darah mereka, persengketaan kami
dengan mereka.”
Nah, demikianlah para sahabat besar itu memberikan keteladanan hidup sebagaimana yang
diajarkan oleh Nabi. Semua bentuk akhlak yang mereka tampilkan itu sebagai wujud kecintaan mereka
kepada Allah dengan cara mengikuti keteladanan Rasul Allah. Harapan mereka adalah ampunan atau
perlindungan dari Allah, Tuhan semesta alam. Keteladanan-keteladanan yang mulia inilah yang
diwarisi oleh mereka yang memilih jalan kesufian. Mereka tak mau bid’ah- membid’ahkan sesama
umat. Mereka memberikan contoh yang bisa menentramkan hati orang yang sedang gundah.
Jalaluddin Rumi mengajar mereka yang non-muslim dengan sepenuh hati, tanpa meminta
mereka pindah agamanya. Mereka, para murid yang terdiri dari orang-orang Muslim dan non-muslim,
diperlakukan sama baiknya. Ajaran “tidak ada paksaan dalam agama” (QS 2:255) dipraktikkan dengan
benar. Betul-betul tidak ada paksaan! Jika ada orang yang tertarik dan pindah ke Islam, ya diterima
dengan baik. Jika tetap teguh dengan agamanya ya tetap dipuji. Dengan cara ini, orang-orang Turki
yang semula hanya 20% penduduknya yang beragama Islam ketika Rumi pindah ke Turki, akhirnya
dengan kesadarannya sendiri rakyat Turki banyak yang pindah ke Agama Islam. Sehingga di akhir
hayatnya, ada 60% penduduk yang beragama Islam.
Sejarah para wali di Jawa sebenarnya juga demikian. Islam diterima di Jawa dengan penetrasi
damai. Walaupun tidak menutup mata bahwa ditingkat kekuasaan negara, para wali itu pun berebut
pengaruh. Dan hal ini maklum, karena yang asli Jawa itu cuma Sunan Kalijaga. Namun, di hadapan
umat mereka berusaha melakukan akulturasi yang menyejukkan rakyat. Mereka tetap mencoba

memberikan langkah-langkah dalam kedamaian hidup di dunia ini.

Post a Comment for "Cinta Sejati Itu Datangnya Dari Allah"