Makalah IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah hirobbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan pada waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang membimbing umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah yakni ajaran agama Islam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam, tentang Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam. Penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca. Tim penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Tim penyusun berharap semoga semua yang telah berjasa dalam penyusunan makalah ini mendapat balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT.
Akhirnya tim penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu tim penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.
Kebumen, 10 Oktober 2015
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar 2
Daftar isi 3
BAB I (Pendahuan )
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penulisan 5
BAB II ( Pembahasan )
a. Pengertian Ijtihad 6
b. Syarat-syarat mujtahid 8
c. Hukum berijtihad dikalangan ulama 9
d. Metode-metode Ijtihad 11
e. Fungsi-fungsi Ijtihad 13
f. Contoh Ijtihad 14
BAB III ( Penutup )
a. Kesimpulan 17
b. Kritik dan saran 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasululloh SAW. Dan perkembangan ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang. Rosululloh sendiri adalah Mujtahid (ahli ijtihad) yang pertama. Ijtihadnya terbatas dalam masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh wahyu (Al quran). Apabila hasil ijtihad rosululloh saw itu benar, maka turun wahyu membenarkannya, dan apabila ijtihad rosululloh salah maka turun wahyu untuk meluruskan kesalahannya. Contohnya: rosululloh menerima pembenaran wahyu tentang pembebasan tawanan perang Badr, Ketika itu umat Islam memenangkan pertempuran dan banyak tentara musuh yang tertawan. Rasulullah saw. bertanya kepada sahabat-sahabatnya mengenai tawanan perang tersebut. *Umar bin Khatab menjawab: “Tawanan perang itu hendaknya dibunuh.” Sedengkan *Abu Bakar as-Siddiq menyatakan, agar tawanan itu dibebaskan dengan syarat membayar *fidyah (denda). Rasulullah saw. mengambil keputusan agar tawanan itu dibebaskan dengan membayar fidyah. Keputusan ini menupakan ijtihad Rasulullah saw. meskipun dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan sahabat-sahabatnya. Lalu turunlah surah al-anfal ayat 67-69 yang membenarkan ijtihad Rasulullah saw. adapun contoh ijtihad Rasulullah saw. yang salah ialah tentang keputusannya pemberian izin orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Lalu turun surah at-Taubah ayat 43-45 yang menyatakan kekeliruan ijtihad Rasulullah saw.
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluruh alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur’an dan Al Hadist dengan jalan istimbat. Adapun Mujtahid yaitu ahli ilmu fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap suatu hukum agama. Oleh karena itu, kita harus berterimakasih kepada para Mujtahid terdahulu yang telah mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rosululloh SAW maupun yang baru terjadi
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut :
a. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad ?
b. Apa saja syarat-syarat mujtahid ?
c. Bagaimana Hukum berijtihad dikalangan Ulama ?
d. Apa saja metode-metode Ijtihad ?
e. Apa saja fungsi-fungsi Ijtihad ?
f. Contoh Ijtihad .
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
2. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai Ijtihad
3. Untuk mengetahui pengertian Iijtihad
4. Untuk mengetahui syarat-syarat Mujtahid atau orang yang melakukan Ijtihad
5. Untuk mengetahui bagaimana hukum berijtihad dikalangan Ulama
6. Untuk mengetahui apa saja metode-metode Ijtihad
7. Untuk mengetahui fungsi-fungsi Ijtihad
8. Untuk mengetahui contoh ijitihad
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN IJTIHAD
Pasca Rasulullah SAW wafat, aktifitas Ijtihad merupakan tren keilmuan yang berkembang pesat. Keberadaannya berfungsi sebagai pelayanan umat, merekomendasikan solusi problematika aktual yang berkembang dengan corak kehidupan tiap-tiap generasinya, tanpa terlepas dari mainstream syari’at. Sehingga lahirlah kekayaan dibidang ilmu fiqih yang tiada taranya dalam sejarah. Iklim keilmuan semacam ini berlangsung hingga pertengahan kurun waktu tahun ke empat hijriyah.
Kata ijtihad (Al- ijtihad) berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan atau kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al masyaqqah (kesulitan, kesukaran) dari itu secara harfiah, ijtihad adalah suatu ungkapan dari pengerahan daya kemampuan untuk mewujudkan sesuatu yang di tuju. Karenanya, kosakata ijtihad hanya digunakan untuk sesuatu yang mengandung beban dan kesulitan. Sedangkan secara terminologis, terdapat beberapa pendefinisian sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa pakar, yaitu:
Pengerahan kemampuan dalam mendapatkan pengetahuan bertaraf asumtif (zhann) atas hukum-hukum syara’, dengan upaya maksimal dimana kemampuan diri tidak dapat lagi memberikan sesuatu yang lebih dari itu. Definisi ini diungkapkan oleh Al-Amudi dan ibn Al-Hajib. Dengan pengertian ini ijtihad hanya belum mencakup pengetahuan bertaraf zhanni, kebenaran qath’i (pasti) belum tercakup didalamnya.
Pengerahan kemampuan dari seorang mujtahid dalam mencapai keyakinan atas hukum-hukum syara’. Definisi yang diungkapkan Al-Ghazali ini berkebalikan dari definisi pertama, yakni hanya mengkaitkan ijtihad dengan objek hukum berdimensi kebenaran pasti, padahal sebagian besar produk ijtihad adalah pengetahuan bertaraf zhanni.
Pengerahan kemampuan dalam menentukan hukum-hukum syara’. Definisi yang dilontarkan Al-Baidlawi ini mencakup dimensi kebenaran rasio (’aqliyah) dan dokstrinsial (naqliyyah), kebenaran pasti (qath’i) dan kebenaran asumtif (zhanni).
Al-Zarkasyi mendefinisikan bahwa ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syariat berdimensi praktik (amaliyah) dengan jalan menggalinya dari sumber-sumbernya(istinbath). Definisi mengecualikan aktifitas penggalian hukum-hukum syari’at berdimensi keyakinan.
Sedangkan pengertian ijtihad yang sering dikemukakan para ulama’ ushul al fiqh adalah definisi Imam al-Ghazali yang dikutib oleh Ahmad Zahra, ijtihad adalah “Pengerahan kemampuan seseorang mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang hukum syara”.
Definisi diatas setidaknya mengandung tiga unsur ijtihad, yaitu:
Pengerahan segenap kemampuan, yang berarti ijtihad merupakan usaha jasmani, rohani, tenaga, pikiran, waktu maupun biaya dan bukan ala kadarnya.
Seorang mujtahid, yang mengandung arti bahwa ijtihad hanya mungkin dan boleh dilakukan oleh seorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mencapai tingkatan mujtahid, dan bukan oleh sembarang orang.
Guna memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang mengandung arti bahwa capaian ijtihad adalah ketentuan hukum yang menyangkut tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan pengamalan ajaran agama.
Dikalangan ahli fiqih, ijtihad merupakan terminology yang berjenjang. Ada yang digolongkan ijtihad mutlaq. Ada juga yang disebut ijtihad muqoyyad atau muntasib. Yang pertama adalah ijtihad seorang ulama dalam bidang fiqih, bukan saja menggali hukum-hukum baru, melainkan juga memakai metode baru, hasil pemikiran orisinil. Inilah tingkatan ijtihad para peletak madzhab, yang pada pertumbuhan fiqih, sekitar abad 2-3 hijriyah, jumlahnya mencapai belasan. Tapi karena seleksi sejarah akhirnya yang bertahan dalam arti diikuti mayoritas umat Islam hanyalah empat; Abu Hanifah (peletak madzhab Hambali), Malik bin Anas (peletak madzhab Maliki), Muhammad bin Idris as-Syafi’i (peletak madzhab Syafi’i), dan Ahmad bin Hanbal(peletak madzhab Hanbal).
Sedang ijtihad muqayyad atau muntasib adalah ijtihad yang terbatas pada upaya penggalian hukum (istinbath al ahkam), dengan piranti atau metode yang dipinjam dari hasil pemikiran orang lain. Misalnya, dalam lingkup madzhab Syafi’i kita mengenal nama-nama, seperti an-Nawawi, artinya Rofi’i atau imam haramain. Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan fungsi itu dengan otoritas yang diakui(mu’tamad), tetapi metode (manhaj) yang digunakan adalah manhaj Imam Syafi’i.
Dalam hal ini, ijtihad bukan saja mencari kebenaran atau hukum-hukum yang berhubungan dengan hukum fiqih yang ada, melainkan juga membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan isu sentral dalam sejarah pemikiran politik dan termasuk juga pemikiran politik islam.
SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan sebagai pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Oleh sebab itu, tidak mungkin semua orang dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab jika semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang melakukan ijtihad maksudnya: ijtihad mutlak, maka akibatnya pun akan membahayakan kehidupan umat.
Ijtihad mesti disertai pemahaman, sedang setiap pemahaman memerlukan keahlian, sementara keahlian membutuhkan persyaratan. Sebagaimana halnya setiap ilmu ada ahli dan pakar di bidangnya yang telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam bidang tersebut. Orang yang tidak ahli di bidangnya tentu tidak dapat dan tidak boleh memaksakan diri untuk berijtihad.
Ada banyak rumusan mengenai persyaratan mujtahid yang diajukan para ulama dengan variasi peristilahan yang berbeda namun dapat dikatakan mengandung substansi yang hampir sama. Disini cukup dijelaskan persyaratan yang dianggap pokok dan menjadi semacam kesepakatan ulama yang mengemukakan syarat-syarat bagi seseorang yang berhak dan layak menjadi mujtahid, yaitu:
Menguasai al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Penguasaan terhadap al-Qur’an yang dimaksud adalah hafal (kalau mungkin) atau hamper hafal seluruhnya dan memahami kandungannya, terutama ayat-ayat yang terkait dengan hukum, yang menurut al-Ghazali ada sekitar 500 ayat. Sedang yang dimaksud ilmu-ilmu terkait dengan pehaman al-Qur’an antara lain ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat, nasikh-mansukh (penggantian suatu ayat dengan ayat yang lain).
Menguasai al-Hadits al-shahih (hadist yang sahih) terutama yang berhubungan dengan hukum dan harus memahami ilmu-ilmu yang berkait dengannya, seperti ilmu dirayah dan riwayah, sebab-sebab wurud (terjadinya) Hadits dan sebagainya. Seorang mujtahid tidak dituntut hafal semua Hadits tentang hukum, melainkan cukup mengetahui letaknya ketika hendak dipergunakan. Tetapi jika hafal seluruh ayat maupun hadist hukum tentu lebih baik dan sempurna.
Menguasai ilmu ushul al-fiqh beserta kaidah-kaidahnya. Penguasaan terhadap ilmu ini penting karena dengannya dapat diketahui kaidah-kaidah istinbath hukum yang berguna untuk memastikan suatu dalil dan mengambil suatu kesimpulan dalam rangka menetapkan hukumsuatu masalah. Al-Ghazali menganggap penguasaan terhadap ilmu ushul al-fiqh merupakan syarat yang penting di samping ilmu hadist dan ilmu bahasa.
Memahami tujuan pokok syari’at Islam (maqosid asy-syari’ah). Seorang mujtahid harus mengetahui tujuan-tujuan pokok syari’at Islam agar tidak keliru lantaran terjebak dan terpaku pada hukum-hukum yang bersifat juz’iy (bagian) tanpa mempertimbangkan maksud-maksud hukum yang bersifat kulliy (keseluruhan).
Harus bertaqwa kepada Allah SWT. Syarat ini terutama dikaitkan dengan dapat diterima atau tidaknya fatwa yang dikeluarkan sebagai hasil ijtihad yang dilakukan, dan tidak berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki untuk melakukan ijtihad.
Mengetahui obyek ijma’ mujtahid generasi terdahulu, sehingga seorang mujtahid tidak mencetuskan suatu hukum yang menyalahi garis consensus pendahulunya. Dalam permasalahan ini, seorang mujtahid tidak harus hafal semua permasalahan yang telah disepakati dalam forum ijma’. Yang menjadi keharusan hanyalah memastikan bahwa hukum yang dicetuskan tidak melanggar garis consensus para mujtahid, adakalanya sintesa hukum yang tercetuskan tersebut bersesuaian dengan salah satu madzhab ulama’, atau ia memiliki dugaan kuat bahwa kasus yang dihadapinya merupakan permasalahan kontemporer yang belum mendapatkan penyikapan hukum dari generasi sebelumnya.
Memiliki cakrawala luas dalam penguasaan bahasa arab dari sisi vocabulary (lughat), gramatika (nahwu-sharf), sastra dan gaya bahasa (ma’ani-bayan), dengan sekedar pengetahuannya untuk memahami komunikasi orang arab dengan kebiasaan pemakaiannya, berupa kata-perkata dan susunan kata, makna umum dan khusus, hakikat dan majas, serta mutlaq dan muqoyyad.
HUKUM BERIJTIHAD DI KALANGAN ULAMA
Persoalan lain yang perlu dibicarakan dalam ijtihad ini adalah hukum berijtihad. Imam Asy Syaukani menukilkan ucapan sebagian ahli fiqih yang artinya: Hendaknya di setiap negara terdapat orang yang mampu berijtihad. Sebab ijtihad itu termasuk fardlu kifayah hukumnya.
Imam An Nawawi menyebutkan, bahwa ijtihad mustaqil (yang menggunakan manhajnya sendiri langsung dari dalil syara’) telah terhenti sejak awal abad IV hijrah, sedangkan ijtihad muntasib (yang mendasarkan manhaj sesuatu aliran) masih selalu ada sampai munculnya tanda-tanda kiamat kubro. Dan ijtihad muntasib ini tidak boleh terputus karena hukumnya fardlu kifayah. Kapan saja penduduk suatu kota mengabaikan ijtihad muntasib ini dan meninggalkannya, maka berdosalah semuanya. Demikian juga menurut pendapat Imam al Mawardi, ar Robbani, al Banawi dan sebagainya.
Ibnu Shalah berkata: Pendapat yang saya lihat dari buku-buku para Imam mengisyaratkan bahwa yang dihukumi fardlu kifayah adalah “mujtahid muqayyad” sedangkan pendapat yang kuat menurut saya bahwa yang dihukumi fardlu kifayah adalah ijtihad mutlak.
Maksud Ibnu Shalah ialah, untuk melaksanakan fardlu kifayah ini harus ada mujtahid yang mampu menggunakan dalil-dalil syara’ secara langsung.
Atas dasar ini, seorang ulama yang telah memiliki dalam dirinya kemampuan untuk berijtihad dan tersedia fasilitas-fasilitas untuk ijtihad hendaknya melengkapi dirinya dengan syarat-syarat ijtihad di bidang ini dan berusaha terus untuk memperluas serta memperdalamnya sehingga ia mencapai derajat ijtihad mutlak. Guna menutup lobang kekosongan dan mengangkat kesulitan dan dosa dari umat Islam, sekarang dilakukan ijtihad jama’i.
Ketetapan hukum demikian ini berlaku secara umum dalam segala perbuatan yang hukumnya fardlu kifayah. Bila terdapat seorang yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya hendaknya ada yang maju mengisi kekosongan ini sebagai tanda syukur kepada Allah yang telah melimpahkan nikmat kepada dirinya.
Uraian di atas adalah berkenaan dengan hukum ijtihad bila dilihat dari segi deskripsi dan kemampuan. Kalau dilihat dari sudut bermunculannya kejadian yang menuntut adanya fatwa, sebagian ahli ushul membagi tiga yaitu; fardlu ‘ain, fardlu kifayah, dan nadb.
Pertama, Ijtihad itu fardlu ‘ain dalam dua keadaan:
Ijtihad yang harus dilakukan oleh diri seorang mujtahid, ketika muncul suatu kejadian-kejadian – dengan kata lain, ia harus berijtihad untuk dirinya tentang hal yang berhubungan dengan ibadah, muamalah, perkawinan, talaknya dan sebagainya.
Ijtihad dalam suatu perkara yang dimana dia harus memutuskan hukumnya (seperti tiadanya orang selain dirinya sendiri yang bisa dipercaya kefasihan dan kemampuan agamanya. Di saat demikian ini ia wajib berijtihad) bila kebutuhan mendesak cepat untuk menentukan hukum kejadian itu, ia harus cepat pula berijtihad tetapi bila tidak terlalu mendesak, bolehlah ia menundanya.
Kedua: Ijtihad yang fardlu kifayah, dalam dua keadaan:
Bila terjadi suatu perkara pada seseorang lalu minta fatwa kepada seseorang ulama, kewajiban untuk menjawab fatwa itu dipikulkan kepada semua umat, terutama ulama yang diajukan kepadanya pertanyaan itu. Kalau dia atau lainnya menjawab masalah tersebut gugurlah kewajiban atas umat tetapi kalau tidak ada yang menjawab maka berdosalah semuanya.
Suatu hukum yang harus diputuskan oleh dua orang hakim dalam suatu majelis. Kewajiban untuk memutuskan ini dipikulkan kepada kedua pundak hakim tadi. Bila salah seorang telah menetapkan keputusannya, gugurlah kewajiban atas hakim yang kedua.
Ketiga: Hukum Ijtihad yang mandub (bersifat keutamaan), terdapat dalam dua keadaan:
a. Ijtihad seorang ulama terhadap perkara yang belum muncul sehingga ia telah mengetahui hukum suatu perkara yang belum terjadi itu.
b. Ijtihad terhadap suatu perkara yang ditanyakan oleh seseorang kepadanya sebelum terjadinya perkara itu.
Dalam pada itu perlu dicatat bahwa sebagian ulama menambahkan adanya ijtihad yang haram hukumnya yaitu ijtihad yang bertentangan dengan dalil qath’i sebab ijtihad tersebut dianggap sebagai ijtihad tidak pada tempatnya. Di antara ijtihad yang haram itu adalah ijtihad orang yang tidak berhak melaksanakan ijtihad yaitu ijtihadnya pemimpin yang tidak mempunyai kemampuan, telah diungkapkan oleh hadits bahwa mereka memberi fatwa tanpa didasari ilmu sehingga sesat dan menyesatkan.
METODE-METODE IJTIHAD
Metode-metode yang umum dipergunakan adalah Qiyas, Istihsan, Al- Mashlahatul Mursalah, Istishhab,’Urf.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, Qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Misalnya hukum minum bir (disebut far’un) sama dengan hukum minum khamar (disebut aslun), yaitu haram (disebut hukum asal), karena keduanya sama-sama memabukan (disebut ilat hukum). Masalah-masalah yang boleh dilakukan dengan cara ini adalah masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam Alquran dan sunah.
Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
Al-Maslahatul Mursalah
Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Mujtahid yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
Istishhab
'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishhab yang dikemukakan Ibnu Qayyim di atas, dipahami bahwa istishhab itu terbagai kepada dua macam;
i. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau ada yang mengubahnya. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan salah satu produk hukum.
ii. Menetapkan segala hukum yang ada pada masa sekarang, berdasarkan ketetapan hukum pada masa yang lalu. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan proses penetapan hukum.
‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
FUNGSI-FUNGSI IJTIHAD
Adapun fungsi-fungsi Ijtihad diantaranya :
1. Fungsi Al-Ruju (kembali)
Mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada Al-Quran dan Sunnah dari segala interpretasi yang kurang relevan
2. Fungsi Al-Ihya (kehidupan)
Menghidupkan kembali bagian-baguan dari nilai dan islam semangat agar mampu menjawab tantangan zaman.
3. Fungsi Al-Inabah (pembenahan)
Memenuhi ajaran-ajaran islam yang telah di ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi
Begitu pentingnya melakukan ijtihad, sehingga jumhur ulama menunjuk ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan firman Alloh SWT surat an-Nisa’59 “ jika kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada Alloh dan Rosul-Nya. Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Quran dan sunnah ketika terjadi perselisihan hukum ialah dengan penelitian seksama terhadap masalah yang nashnya tidak jelas.
CONTOH IJTIHAD
Pandangan para Ulama dan Kyai di Indonesia tentang facebook
Facebook memang sebuah fenomena tersendiri di zaman sekarang ini. Melejitnya jumlah pengguna Facebook di Indonesia ini ternyata menarik perhatian para ulama dan kiyai di negeri ini. Setidaknya sekitar 700 ulama se-Jawa Timur sempat berkumpul untuk membahas hukum penggunaan facebook. Rupanya para tokoh Islam sedikit khawatir bahwa meluasnya jejaring sosial tersebut juga dapat berdampak negatif. Misalnya mereka takut kalau digunakan untuk transaksi negatif seperti seks terselubung. Padahal sebenarnya facebook nyaris punya kemiripan dengan berbagai media elektronik lain, seperti televisi, radio, telepon serta internet.
Semua itu pada dasarnya bebas nilai, kecuali setelah diisi dengan berbagai konten. Kalau kontennya bermuatan positif, tentu hukumnya halal. Sebaliknya, kalau kontennya bermuatan negatif, tentu saja hukumnya menjadi menjadi haram atau setidaknya menjadi makruh.
Ada beberapa ulama yang mengharamkan televisi, lantaran beranggapan bahwa televisi punya pengaruh yang negatif. Dan rasanya alasan mereka tidak terlalu salah, kalau kita melihat madharat yang ditimbulkan oleh konten yang dimuat oleh stasiun TV. Bahkan kalangan pemerhati dan pendidik pun sepakat bahwa TV punya banyak madharat. Tetapi kedudukan pesawat TV sebagai sebuah sarana teknologi, tentu tidak ada yang mengharamkannya. Demikian juga dengan fenomena facebook, banyak pihak yang merasa keberadaannya menghawatirkan, karena adanya penyalahgunaan.
Diantaranya untuk sarana bermesum-ria, atau juga untuk bergosip, berhasad, berjunjing, atau menyebarkan berita bohong. Dan beberapa kasus, memang hal itu terjadi. Walau pun rasanya bukan pada tempatnya untuk mengatakan bahwa semua pengguna facebook pasti melakukan kemaksiatan dan kemungkaran seperti yang disebutkan. Banyak manfaat yang bisa disebutkan untuk tekonolgi facebook, bahkan bisa digunakan juga untuk berdakwah.
Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3)
Salah satu hasil fatwa tentang facebook telah dikeluarkan oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jatim di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadien Lirboyo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Pertemuan yang dilaksanakan sejak Rabu mengharamkan komunikasi dua orang berlainan jenis yang bukan muhrim baik melalui Facebook. Dan sebenarnya medianya bukan terbatas pada facebook saja, tetapi termasuk di dalamnya Friendster maupun SMS dan lain sebagainya. Dengan syarat bila semua dilakukan secara berlebihan. “Larangan ini kami keluarkan sesuai aturan agama,” kata seorang anggota perumus Komisi C FMP3, Masruhan. Namun jika komunikasi tersebut terkait keinginan untuk menikah, menurut Masruhan, tetap diperbolehkan.
Kiyai Nabil Lirboyo
Kiyai Nabil Haroen sebagai juru bicara Pondok Pesantren Lirboyo Jawa Timur sempat berkomentar begini, “Para tokoh muslim atau imam di Indonesia berpandangan sebaiknya ada fatwa atau batasan mengenai jejaring sosial maya, di mana dalam pandangan mereka pergaulan terbuka mampu mengundang birahi atau hasrat yang di dalam ajaran Islam diharamkan,”. Namun demikian, beliau tidak mengharamkan facebook secara gebyah uyah. Pesantren Lirboyo, menurut Nabil, masih memperbolehkan santrinya menggunakan Facebook asal tidak mengarah ke hal-hal yang berbau porno atau mengundang birahi. Nabil meminta bantuan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar untuk menyosialisasikan hukum haram berhubungan dengan lawan jenis via HP, 3G, Facebook, Friendster dan lain sebagainya.
Sayangnya, berita ini kemudian dibantah oleh pemimpin Pondok Lirboyo, Kiai Idris.
Beliau tegas membantah kenal dengan orang yang mengatasnamakan juru bicara Ponpes Lirboyo, Nabil Haroen. “Tidak ada itu, saya bahkan tidak kenal dengan Nabil,” Kiai Idris mengaku memang ada pertemuan ulama se-Jatim dengan agenda membahas persoalan umat kontemporer. Namun pertemuan itu sama sekali tidak menyinggung tentang hukum Facebook. “Tadi malam pertemuannya selesai, tapi tidak ada bahas itu,” ungkapnya.
Beliau tegas membantah kenal dengan orang yang mengatasnamakan juru bicara Ponpes Lirboyo, Nabil Haroen. “Tidak ada itu, saya bahkan tidak kenal dengan Nabil,” Kiai Idris mengaku memang ada pertemuan ulama se-Jatim dengan agenda membahas persoalan umat kontemporer. Namun pertemuan itu sama sekali tidak menyinggung tentang hukum Facebook. “Tadi malam pertemuannya selesai, tapi tidak ada bahas itu,” ungkapnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Bagaimana dengan Majelis Ulama Indonesia? Sepanjang yang saya ketahui, MUI belum berniat membahas Facebook. Anggota MUI Amidhan bahkan menyatakan belum mendengar rencana ulama seJatim tersebut. Kalaupun ulama di Jatim membahasnya, menurut Amidhan, itu semacam keprihatinan. Secara pribadi, Amidhan menilai situs pertemanan itu tidak melulu berdampak negatif.
“Kalau digunakan murni untuk kebaikan, saya kira tidak ada masalah. Tapi kalau menimbulkan hal- hal tidak baik, ya harus ditindak,” tuturnya
“Kalau digunakan murni untuk kebaikan, saya kira tidak ada masalah. Tapi kalau menimbulkan hal- hal tidak baik, ya harus ditindak,” tuturnya
Hukum foto selfie menurut pandangan Islam
Ini dilansir dari berita islami masa kini Trans TV Terbaru yang kemudian mendapat tanggapan dari cendekiawan muslim: boleh atau haram? Menurut redaksi berita Islami masa kini yang diambil dari hadist, foto selfie dikategorikan sebagai gambar di mana Rasulullah Muhammad Saw melarang membuat gambar maupun dipajang di dalam rumah. Berikut ini hadits atau sumber hukum Islam syariah yang melarang foto selfie. (Baginda) Muhammad SAW melarang gambar ada di dalam rumah dan beliau juga melarang membuat gambar. Hadits Riwayat Tirmizi Nomor 1749. Lalu, foto apa saja yang dilarang dalam syariat Islam? Semua gambar yang dihasilkan dari objek bernyawa dilarang, yaitu manusia, hewan, termasuk tumbuhan. Suatu ketika malaikat Jibril ingin masuk ke dalam rumah, tetapi Jibril menyuruh pemilik rumah untuk menyingkirkan kepala patung yang ada di rumah baru ia akan masuk. Hal ini menunjukkan bahwa gambar, foto atau patung bernyawa yang ditandai dengan adanya kepala di dalam rumah dilarang dalam Islam. Hal ini diperkuat dengan hadis yang berbunyi: (Ciri-ciri) gambar adalah terdapat kepala, apabila kepala (gambar) itu dihilangkan, maka bukan lagi dikatakan gambar." (HR Al Baihaqi 7/270)."
Syeh Al Albani mengatakan bahwa hadits di atas sahih dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Berdasarkan hadis tersebut, sejumlah ulama melarang untuk membuat foto yang identik dengan gambar, termasuk foto selfie. Apalagi video selfie biasanya menunjukkan kepala di mana kategori sebuah lukisan yang dimaksud Nabi pada zaman dahulu adalah meliputi kepala. Dengan dasar dan landasan ini, beberapa ulama memberikan fatwa bahwa foto selfie itu haram. Meski begitu, ada juga sejumlah ulama yang memperbolehkan hukum foto selfie ditinjau dari perspektif Islam. Menurut ulama yang setuju dan memperbolehkan foto selfie adalah bahwa gambar yang diambil dari alat kamera bukanlah menciptakan hal baru yang menyerupai makhluk hidup, tetapi gambarnya sendiri yang diabadikan dalam sebuah alat. "Gambar dan foto itu identik tetapi tidak sama. Kalau gambar yang dimaksud pada zaman Nabi itu melukis dengan mencoba untuk meniru bentuk aslinya, maka foto pada zaman modern hanyalah mengabadikan objek foto pada momen dan waktu tertentu melalui proses pengambilan cahaya. Jadi, foto selfie itu bukan termasuk kategori yang dimaksud dalam hadis," ujar Lismanto, cendekiawan muslim alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo saat dihubungi IslamCendekia.Com via media sosial.
Dengan alasan yang berpijak pada definisi lukisan/gambar dan foto tersebut, Lismanto mengatakan bahwa foto selfie itu boleh dan tidak haram. "Tapi, ada dampak tersendiri dari foto selfie, terutama saat diunggah di media sosial dan dilihat banyak orang," imbuhnya.
"Saya pernah diskusi ringan dengan seorang teman asal Turki yang kebetulan seorang muslim taat dan penganut semacam tarekat atau sufisme Islam. Dalam setiap foto profilnya, ia sama sekali tidak meng-upload dalam jarak dekat seperti selfie. Alasannya, ketika banyak orang di berbagai penjuru melihat foto kita dan pada akhirnya menaruh perasaan negatif seperti cemburu, iri, sakit hati, mengumpat, dan tindakan negatif lainnya, maka ia akan melakukan transfer energi negatif yang bisa masuk ke dalam tubuh kita," tuturnya.
Lismanto melanjutkan, nah, energi negatif yang dipancarkan seseorang melalui wajah foto selfie di media sosial bisa menyebabkan mudah lelah, cepat meriang, dan hal-hal lain yang berdampak negatif pada tubuh. "Itu alasan teman saya yang di Turki tidak mau mengunggah foto selfie di media sosial, baik Facebook, Twitter, Instagram, bahkan Youtube," pungkas Lismanto.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum islam untuk kemudian diimplemetasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan dilakukan Ijtihad adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks dimana membutuhkan hukum islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.
B. KRITIK DAN SARAN
Demikian makalah ijtihad sebagai sumber hukum islam dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam, yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga makalah ini dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama. Bandung, Sinar Baru. 1990.
_________ Perbandingan Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Post a Comment for "Makalah IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM"