Target dan Obsesi (Cerpen Cerita Pribadi)
Target dan Obsesi
(Karya
Khofifah)
Embun pagi berterbangan di udara mampu membasahi
pipiku. Seindah aroma pagi hari aku menarik nafas perlahan dengan menikmatinya.
Beribuan pasang sepatu berbunyi menghentakkan bumi bagaikan nyanyian para
burung. Aku melangkahkan kaki dengan sigap dan semangat menggendong tas
ranselku menuju kelas tercinta. Dengan semangat mengatakan “Selamat Pagi!”
dengan cerianya. Memulai hari dengan semangat tentu akan memengaruhi proses
belajar-mengajar.
Aku hidup dengan banyak mimpi dan target. Kutuliskan
semua mimpi dan target dalam hidupku di beberapa kertas lalu ku tempelkan di
dinding kamarku agar dapat mengingatnya. Aku sangat menyukai bau-bau
kemenangan. Sehingga pada targetku aku mempunyai target untuk selalu menjadi
juara.
Ketika aku duduk di sekolah dasar, aku sangat
semangat belajar. Bahkan awal proses pembelajaran aku selalu mengulangi
pelajaran yang ada di sekolah, lalu kuberikan kepada guru.
“ini pak, aku mengulanginya kemarin” ucapku
menyerahkan sebuah buku tulisan yang sama dengan yang kemarin dan dinilai
sepuluh langung oleh guru.
Semangatku tak berakhir hingga selama di sekolah
dasar aku dapat menjadi siswa yang banyak di kenal guru dan menjadi kesayangan.
Pada perpisahan di sekolah dasar pun aku menjadi siswa dengan nilai tertinggi kedua. Aku
sangat membanggakan hal itu.
Saat melanjutkan sekolah menengah pertama, pada
kelas satu (sekarang kelas 7) aku tak
mendapat hal yang membanggakan itu lagi. Saat itu semangatku berkurang, hampir
semua teman di kelas tak mau menjadi temanku karena sebuah hal. Ini pengalaman
yang menyakitkan bagiku, entah bagaimana cara menceritakannya aku tak tahu. Aku
pernah mempunyai masalah dengan satu temanku di kelas, tetapi karena hal itu
teman lainnya juga ikut tak mau menjadi temanku. Hanya satu saat itu yang
terang-terangan menjadi temanku, namanya Deka. Satu lagi teman yang diam-diam
mau menjadi temanku, namanya Yuli. Hanya itu, hanya mereka yang mau menjadi
temanku (duh jadi baper-_-).
Di kelas 8, semangatku mulai bangkit. Bisa jadi
semua ini terjadi karena orang yang ada di kelas itu berbeda orangnya. Perlahan
aku mulai bisa mempertahankan targetku dari sekolah dasar hingga di kelas 9 aku
makin bangkit meskipun mendapat peringkat ketiga di SMP. Tak apa bagiku, toh
jumlah siswa lebih banyak dan aku memakluminya. Setelah itu, aku masuk ke
sekolah menengah atas. Aku memilih sebuah sekolah yang terpandang di area
tempat tinggalku. Padahal di dekat rumahku juga terdapat SMA, tapi kulalaui saja.
Aku ingin masa depanku menjadi lebih cerah dan tak ingin menyesal di
kedepannya.
Saat menempati kelas 10 (satu SMA), pada semester satu
aku mendapat peringkat 2. Aku senang, aku juga pernah mengikuti ajang
resmi olimpiade astronomi. Awalnya aku tak mau mengikuti olimpiade mata
pelajaran astronomi. Aku snagat ingin menyukai pelajaran kimia. Namun pada saat
itu aku tak terpilih karena kurang cepat menghadap guru kimia.
“kau terlambat, jadi kau tak di pilih”
Ini menjadi hal paling lucu sekaligus menyedihkan.
Belum dilaksanakannya tes, aku telah di tolak (menyedihkan-,-). Untuk itu, ada seorang guru yag mengajakku
olimpiade astronomi, namanya Tri. Saat itu aku sangat dekat dengan Ibu Tri. Hal
ini juga yang menjadi masalah saat aku kelas 11. Saat kelas 10 semester dua,
aku kalah rajin dengan temanku yang lain sehingga aku turnun menjadi peringkat
ketiga.
Saat menduduki kelas 11, aku lebih dulu di ajak oleh
guru kimia untuk mengikuti ajang lomba olmpiade kimia tahun berikutnya. Tapi
hal ini di tentang Ibu Tri yang tetap mengajakku olimpiade astronomi. Dalam
batinku, aku merasa beruntung. Di perebutkan untuk mengikuti lomba, tapi guru
kimia tak mau mempertahankanku. Padahal, sudah dari dahulu aku menunggu
kesempatan ini untuk mengikuti lomba kimia. Sangat mengesalkan.
Tak mudah untuk berjuang dalam kemenangan. Aku harus
melawan rasa kemalasan yang ada pada diriku. Apalagi pelajaran astronomi adalah
pelajaran yang jarang bahkan tiada dalam pendidikan sekolah. Aku harus
mempelajari mulai dari nol. Untuk menghadapi olimpiade pun, aku tidak belajar
materi. Ibu Tri langsung menyuguhkan berlembar-lembar soal tanpa materi (sungguh menyebalkan-,-).
Aku mempunyai partner, perwakilan sekolah
mengirimkan tiga orang untuk mengikuti olimpiade. Ada satu partner-ku yang
malas belajar, lebih tepatnya ia sanagt suka main game. Namanya Febri. Bahkan
untuk itu aku berniat membantunya untuk bangkit, ia pernah meminta ku untuk
memberikannya semangat lalu mengunggahnya di media sosial.
“bantu aku” ucap Febri.
“bantu apa?” tanyaku.
“upload
(read: aplud) ini pakai status, aku akan semangat” katanya sambil menyodorkan
sebuah kertas yang bertuliskan “semangat! Jangan main game lagi!”.
“inbox aja
ya?” ucapku.
“status saja”
“baiklah” aku menurutinya.
Ketika mengikuti lomba olimpiade Atronomi, aku
mendapat juara 2 tingkat kabupaten dan Febri sebagai juara ketiganya. Aku
sangat senang. Orang tuaku juga turut senang dan bangga padaku. Ucapan selamat
dan senyuman membanjiri diriku. tetapi ada satu hal yang mengganjal dalam
hatiku bahwa juara satu olimpiade astronomi di tempati oleh sekolah di bawah
standar sekolahku.
“masa sekolah plus
kalah sama sekolah sanudin”
“malu kali anak plus
kalah”
“yaudah sabar”
“mungkin belum rejeki
kamu dek”
Itulah mungkin kata orang-orang yang berbincang denganku
mengenai siapa dan dari sekolah mana yang mengalahkan sekolahku. Bahkan kepala
sekolahku ikut turut berkata semacamnya. Bukan sedih yang kualami, tapi kesal.
Sangat mengesalkan.
Detik-detik lanjut lomba ke provinsi, aku dan Ibu
Tri mencari tahu tentang kebenaran pengumuman lomba tersebut. Ternyata, memang
benar sekolah tersebut memang menduduki juara pertama, tetapi tidak memenuhi
syarat. Syarat yang di ajukan oleh Dinas Pendidikan bahwa peserta tidak boleh
kelas 12, dan sekolah sanudin
melanggar hal tersebut karena peserta yang mereka wakilkan dalam kelas 12. Aku
menggerutu kesal.
“jika ia tidak ikut, sudah pasti aku yang juara
satu” itulah yang kupikirkan saat itu. Meskipun begitu, derajatku tidak naik menjadi
juara satu. Tetap dalam juara dua. Benar perkataan orang-orang “jika memang
nasibmu juara dua, apapun itu resikonya. Kau akan tetap juara dua” hal ini
mungkin dikarenakan, selang waktu yang diketahui sangat sempit, kemudian
besoknya langsung menuju ke provinsi.
Membayar penurunan yang terjadi dari tahun
sebelumnya, aku semangat belajar sampai aku mendapat juara satu saat ulangan
tengah semester. Aku sangat senang, tetapi pada semester satu aku turun menjadi
juara tiga lagi. Lagi lagi aku turun, aku sempat kecil hati bahkan aku
menangis. Aku sangat sedih, aku kalah rajin lagi. Teman-teman lain berkata
bahwa itu bukan target, tapi obsesi. Ya, benar. Aku sudah terobsesi dengan
juara dan kemenangan. Aku tak bisa lepas dari itu.
“sudahlah Ifah, hasil yang kita dapat itu merupakan
usaha kita sendiri. Mending ikhlasin” ucap Tiwi menenangku. Tiwi adalah
temanku, tepatnya sahabatku. Selain Tiwi, temanku yang lain yang bernama Lia
juga menenangkanku yang nangis terseduh-seduh.
Ada seorang temanku bernama Dillah. Ia sangat rajin
bahkan sempat mengalahkan orang yang pintar dibidang ipa di kelas. Ada pepatah
yang mengatakan “orang pintar akan dikalahkan dengan orang yang rajin”. Pepatah
itu benar-benar terjadi. Aku mempunyai masalah besar. Masalah besarku adalah
aku mempunyai kemalasan. Rasa malas itu selalu mengangguku.
Tambah lagi, waktu pembagian rapor kenaikan kelas
12 aku mendapat peringkat keempat. Hal
ini membuatku sedih, aku tak sanggup menahan tangis. Akhirnya aku menangis
terseduh-seduh. Setelah itu, aku di tenangi oleh Yuli, Tia, Tami, Hasnah, Lia,
dan banyak (hampir semua teman-temanku). Aku senang, mereka semua
mempedulikanku.
“semua orang pasti mengalami keadaan di atas dan di
bawah Ifah. Kau harus sabar” itu yang diucapkan Tia dan Lina kepadaku.
Aku tak dapat membedakan antara target dan obsesi yang
kualami. Target yang pernah kutulis menjebakku dalan sebuah ke-obsesian. Aku
terjebak dalam lubang obsesi dan sekarang aku berusaha untuk melepaskan semua
obsesi yang berada di pikiranku. Aku hanya takut obsesi yang terjadi merujukku
pada kesakitan jiwa. Aku selalu berusaha agar keluar dari obsesi tetapi tidak
melupakan target-target yang pernah kutuliskan dan menjalani serta menikmati
hidupku. Seperti kata-kata orang zaman sekarang ini “enjoying your life”.
Post a Comment for "Target dan Obsesi (Cerpen Cerita Pribadi)"