Makalah Tentang Kumis Dan Jenggot
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masalah
Sebagian pembenci Islam menganggap dan
mengopinikan jenggot sebagai ciri khas teroris. Jika ada seorang laki-laki
memelihara jenggot, maka ia adalah teroris, atau minimal berpikiran radikal dan
intoleran. Ini adalah bagian upaya mereka untuk menjauhkan umat Islam dari
ajaran dan ciri khas mereka. Jenggot, celana cingkrang, jilbab, cadar, dan
ciri-ciri khas muslim lainnya dianggap dan diopinikan sebagai ciri khas
teroris. Sayangnya, opini pembenci Islam ini ‘dimakan mentah-mentah’ oleh
sebagian kaum muslimin.
Di sisi yang lain, sebagian umat Islam
yang begitu tinggi ghirah Islamnya, dan begitu kuat keinginan mengikuti sunnah-nya, namun kurang memahami persoalan khilafiyah,
akhirnya menjadikan jenggot sebagai standar ahlus sunnah atau ahlul bid’ah-nya
seseorang. Yang memelihara jenggot, berarti ia ahlus sunnah, sedangkan yang
mencukur jenggot, berarti ia ahlul bid’ah. Mereka juga tutup mata dan tutup
telinga terhadap fakta bahwa ulama berbeda pendapat tentang kewajiban
memelihara jenggot ini. Orang-orang seperti ini mudah mengklaim mutlak
kebenaran ada pada dirinya atau komunitasnya, dan yang menyelisihi berarti
salah mutlak.
Pada kesempatan
pertama kali ini, kelompok kami akan
mencoba menerangkan tentang Perselisihan Hukum Islam antar Memelihara
Kumis dan Jenggot. Makalah ini akan memaparkan tentang pengertian dan sekelumit
tentang hukum memeihara Kumis dan Jenggot.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun Rumusan Masalah dam Makalah ini antara
lain:
a)
Apa Pengertian Kumis dan Jenggot?
b)
Bagaimana memlihara Jenggot dalam
Fiqih?
c)
Bagaimana Asbabul Wurudh Hadist
memelihara Kumis dan Jenggot?
d)
Bagaimana Penjelasan Hadist
tentang memlihara Kumis dan Jenggot?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kumis dan Jenggot
Kumis adalah nama rambut yang membentang
di atas mulut. Begitulah para ulama fikih mendefinisikan.[1] Tidak
ada masalah di atas dan bawah kumis, dia tidak menyerupai jenggot. Yang
menyerupai adalah dua ujung kumis. Yang dinamakan ‘As-Syabbalin’. Diantara para
ulama fiqih berpendapat keduanya termasuk kumis sebagaimana pendapat Hanabilah,
pendapat Hanafiyah dan Malikiyah. Diantara mereka berpendapat ia termasuk
jenggot sebagaimana pendapat sebagian Hanafiyah. Atau keduanya termasuk kumis
akan tetapi berpendapat tidak mengapa dibiarkannya seperti pendapat Syafiiyyah.
Janggut adalah rambut yang
tumbuh pada daerah dagu, pipi, dan leher pria. Rambut di daerah di atas bibir kadang juga
dikelompokkan sebagai "janggut" walaupun secara spesifik lebih sering
disebut kumis.
Ilmu yang mempelajari janggut disebut pogonologi. Sepanjang
sejarah, pria berjanggut telah diasosiasikan dengan berbagai atribut seperti bijaksana, maskulin,
atau berstatus tinggi, tetapi kadang juga diasosiasikan sebagai kurang rapi
atau eksentrik. Dalam syariat Islam,
umat Muslim disunnahkan
untuk memotong habis kumis dan memelihara janggut, sekiranya orang tersebut
berbakat memiliki janggut.[2]
B.
Hukum Memelihara Jenggot dalam Fiqih
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224]
dikatakan bahwa seluruh ulama sepakat memelihara jenggot merupakan perkara yang
diperintahkan oleh Syari’ah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
1.
Hadits dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
خَالِفُوا المُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Artinya:
“Selisihilah orang-orang musyrik.
Peliharalah (jangan cukur) jenggot dan cukurlah kumis kalian.” (HR.
Al-Bukhari no. 5892)
2.
Hadits dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا
اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Artinya:
“Cukurlah kumis dan biarkanlah (jangan
dicukur) jenggot kalian. Selisihilah orang-orang Majusi.” (HR. Muslim no.
260)
3. Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ
الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ …
Artinya:
“Sepuluh perkara yang termasuk fitrah,
yaitu mencukur kumis, memelihara jenggot, …” (HR. Muslim no. 261)
Ibnu
Hajar menyatakan bahwa orang-orang Majusi ada yang memotong pendek jenggot
mereka dan ada juga yang mencukurnya habis (Fathul Bari [10/349]).
Walaupun memelihara jenggot merupakan perkara yang disyariatkan dalam Islam,
namun tidak otomatis hukumnya wajib atau ulama sepakat atas kewajibannya.
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah ada
beberapa pembahasan terkait memelihara jenggot ini, dan yang terpenting di
antaranya adalah tentang :
a)
Memanjangkan dan melebatkan
jenggot dengan treatment tertentu,
b)
Memotong jenggot yang panjangnya
melebihi genggaman tangan, dan
c)
Mencukur habis jenggot.
Memanjangkan dan
Melebatkan Jenggot dengan Treatment Tertentu
Ibn Daqiq al-‘Ied berkata:
لَا أَعْلَمُ أَحَدًا فَهِمَ مِنَ
الْأَمْرِ فِي قَوْلِهِ أَعْفُوا اللِّحَى تَجْوِيزَ مُعَالَجَتِهَا بِمَا
يُغْزِرُهَا كَمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ
Artinya: “Saya tidak mengetahui ada orang yang memahami perintah Nabi dalam
sabda beliau, ‘peliharalah jenggot’ dengan kebolehan memberikan treatmenttertentu agar jenggot
tersebut tumbuh lebat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang.” (Fathul Bari [10/351]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah[35/224])
Jadi,
bagi yang memang dari sononya tidak punya
jenggot, tidak usah sedih, dan tidak usah juga membeli penumbuh jenggot
berharga mahal untuk merealisasikan perintah Nabi ini. Perintah memelihara
jenggot ini hanya untuk yang dikaruniai jenggot oleh Allah ta’ala.
Memotong Jenggot yang
Melebihi Genggaman Tangan
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat.
Berikut sedikit gambarannya:
1)
Tidak boleh memotong jenggot,
walaupun panjangnya melebihi genggaman tangan. Yang berpendapat seperti ini
misalnya adalah Imam an-Nawawi. Beliau menyatakan bahwa kebolehan memotong
jenggot yang melebihi genggaman tersebut bertentangan dengan zhahir hadits yang
memerintahkan membiarkannya (tidak mencukurnya). (Fathul Bari [10/350]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224])
2)
Boleh memotong jenggot yang
melebihi genggaman tangan. Ini adalah pendapat Hanabilah dan Hanafiyyah. Mereka
melandasi pendapatnya ini dengan atsar dari Ibn ‘Umar:
إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ
قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
Artinya:
“(Ibnu ‘Umar) ketika berhaji atau
ber-‘umrah beliau menggenggam jenggotnya, dan yang melebihi genggaman tersebut
beliau potong.” (HR. Al-Bukhari no. 5892)
Terkait
riwayat dari al-Bukhari di atas, Mushthafa al-Bugha memberikan ta’liq-nya, bahwa yang dimaksud dengan fadhala adalah ‘melebihi dari genggaman’ dan akhadzahu artinya qashshahu (memotongnya).
Secara terperinci, kalangan Hanabilah menyatakan bahwa tidak makruh hukumnya
memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan, dan ini yang dinyatakan oleh
Imam Ahmad (Syarh Muntaha al-Iradat [1/44]; Nailul Ma-arib[1/57]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Sedangkan
Hanafiyyah menyatakan bahwa memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan
hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad dari Abu Hanifah (al-Fatawa al-Hindiyyah [5/358]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Ada
juga pendapat dari kalangan Hanafiyyah yang menyatakan wajib memotong jenggot
yang melebihi genggaman tangan, dan berdosa membiarkannya (tidak memotongnya) (Hasyiyah Ibn ‘Abidin [2/417]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Adapun
memotongnya lebih pendek dari genggaman tangan, maka Ibn ‘Abidin berkata,
‘tidak ada seorangpun yang membolehkannya’ (Hasyiyah Ibn ‘Abidin[2/418]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225])
3)
Jenggot tidak dipotong kecuali
jika jenggot tersebut semrawut (tidak rapi) karena begitu panjang dan lebatnya.
Pendapat ini dinukil oleh ath-Thabari dari al-Hasan dan ‘Atha. Dan pendapat
inilah yang dipilih oleh Ibn Hajar, dan menurut beliau karena alasan inilah Ibn
‘Umar memotong jenggotnya. ‘Iyadh berkata bahwa memotong jenggot yang terlalu
panjang dan lebat itu baik, bahkan dimakruhkan membiarkan jenggot yang terlalu
panjang dan lebat sebagaimana dimakruhkan memendekkannya (Fathul Bari [10/350]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Salah satu dalil yang
digunakan oleh yang berpendapat seperti ini adalah hadits:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُولِهَا
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dulu memotong jenggotnya karena sangat lebat dan panjangnya.” (HR.
At-Tirmidzi no. 2762, dan beliau berkata, ‘ini hadits gharib’)
Tentang
hadits ini, Ibn Hajar dalam Fathul Bari [10/350]
memuat pernyataan al-Bukhari tentang ‘Umar ibn Harun (periwayat hadits ini),
‘saya tidak mengetahui hadits munkar darinya, kecuali hadits ini’. Ibn Hajar
juga menyatakan bahwa sekelompok ulama mendhaifkan ‘Umar ibn Harun secara
mutlak.
Mencukur Habis
Jenggot
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225-226]
dinyatakan bahwa mayoritas fuqaha, yaitu kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah,
Hanabilah dan satu pendapat dari kalangan Syafi’iyyah mengharamkan mencukur
habis jenggot. Di al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462],
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa kalangan Malikiyyah dan Hanabilah
mengharamkan mencukur habis jenggot, sedangkan kalangan Hanafiyyah menyatakan
hukumnya makruh tahrim.
Kelompok
yang mengharamkan ini beralasan bahwa mencukur habis jenggot bertentangan
dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memeliharanya. Dan Ibn
‘Abidin dalam kitab Hasyiyah-nya
(sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya) menyatakan bahwa tidak ada seorangpun
yang membolehkan memotong jenggot lebih pendek dari genggaman tangan (al-akhdzu minal lihyah duunal qabdhah), sedangkan
mencukur habis jenggot (halqul lihyah) lebih
dari itu (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/226]).
Maksudnya, memotong jenggot lebih pendek dari genggaman tangan saja tidak
boleh, apalagi mencukur habis jenggot tersebut.
Dalam Hasyiyah ad-Dusuqi [1/90] dinyatakan, ‘Haram bagi
seorang laki-laki mencukur habis jenggot dan kumisnya, dan orang yang melakukan
itu diberi sanksi ta’dib’. Berbeda dengan jumhur
fuqaha, pendapat yang ashah dari
kalangan Syafi’iyyah menyatakan bahwa mencukur habis jenggot hukumnya makruh (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/226]).
Syaikh Wahbah az-Zuhaili, ulama besar kontemporer bermadzhab Syafi’i, di kitab
beliau al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462], juga
menyatakan hal yang sama, bahwa mencukur habis jenggot menurut madzhab Syafi’i
hukumnya makruh tanzih.
Az-Zuhaili juga menukil
pernyataan an-Nawawi tentang sepuluh kebiasaan yang dimakruhkan terkait dengan
jenggot, dan salah satunya adalah mencukur habisnya. Dikecualikan dari hal ini,
jika jenggot tersebut tumbuh pada seorang perempuan, maka mustahab mencukurnya habis (Syarh Shahih Muslim [3/149-150]; al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462]).
C.
Asbab al-wurudh Hadist Kumis dan Jenggot
Bukhori
Muslim menceritakan dari Maimun bin Mahran yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
berkata bahwasannya Rasulullah ingat akan orang Majusyi yang selalu membiarkan
misai (kumis) dan memangkas jenggotnya. Maka Rasulullah pun menyuruh untuk
berbeda dengan mereka. Diceritakan dari Ibn Al-Nujjar yang diriwayatkan oleh
Ibnu ‘Abbas berkata, ada seseorang datang menemui Rasulullah dari negri ‘ajam,
Ia memangkas jenggotnya dan memelihara kumisnya. Maka Rasulullah pun bersabda:
“jauhilah hal semacam itu. Akan tetapi potonglah kumis kalian dan biarkan
jenggot kalian”.[3] Dalam
versi yang lain di sebutkan bahwa Muslim No. 380 juga memiliki asba al-wurudh
yakni sebagai berikut ;
Bazzar
menceritakan dari Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah bahwasannya Rasulullah
melihat seseorang yang kumisnya panjang (lebat). Kemudian beliau berkata :
“Maka bersihkanlah sebagaimana engkau bersiwak. Jadikanlah siwak hanya pada
mulut dan jangan sampai melebihi batas. Oleh karena itu cukurlah kumismu.”[4]
D.
Penjelasan Hadist memelihara
Kumis dan Jenggot
Perbedaan
pemahaman diantara ulama’ salaf tentang hukum memotong kumis dan memanjangkan
jenggot sangatlah beragam. Sejauh penelusuran penulis, fuqoha’ abad pertengahan
cenderung memaknai hadis ini secara tekstual sesuai dengan yang tersurat dalam
zahir hadis (meskipun ada yang menyalahinya seperti yang akan dipaparkan
nanti). Yaitu dengan mengatakan bahwa memotong kumis dan memelihara jenggot
adalah sebuah keharusan bagi orang muslim. Walaupun banyaknya ragam lafadz yang
dipakai dalam menunjukkan makna “memotong”, juga menjadi sesuatu hal yang
menimbulkan banyak pertentangan di antara mereka.
Ibn
Hajar berkata: “Dengan pengertian bahwa makna a’fu (aslinya) adalah membiarkan,
maka membiarkan jenggot berarti “memperbanyak”nya. ini adalah pendapat jumhur
yang benar (di antara pendapat lainnya).[5]
Pada
intinya, mayoritas Ulama’ dan ahli fiqih secara tegas menyatakan bahwa mencukur
jenggot itu haram. Ibnu Hazm berkata, “Para ulama sepakat bahwa mencukur
jenggot merupakan perbuatan mutslah yang terlarang.” Mutslah adalah perbuatan
memperburuk atau membuat jelek. Tidaklah diragukan bahwa wajah adalah anggota
tubuh yang mulia, karena di sana terdapat sejumlah indera. Wajah juga merupakan
sumber/pusat ketampanan. Pada wajah terdapat ciptaan Allah yang indah yang
seharusnya dijaga dan diperlakukan secara istimewa. Tidak malah dihinakan dan dibuat
agar tampak buruk/jelek.[6]
Dalam
Al Ikhtiyarot Al Ilmiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Dan beliau mengikuti
mazhab Imam Ahmad -ed) berkata, “Diharamkan mencukur jenggot berdasar berbagai
hadis yang shahih dan tidak seorang ulama pun yang membolehkannya.” Ibnu Abidin
dari kalangan ulama Hanafiah dalam Roddul Muhtar menyatakan, “Diharamkan bagi
laki-laki memotong jenggot.” Dalam Al Umm Imam Syafi’i menegaskan haramnya
mencukur jenggot. Dari kalangan Malikiyyah, Al ‘Adawi menukil pernyataan Imam
Malik, “Itu termasuk perbuatan orang-orang Majusi.” Ibnu ‘Abdil Bar dalam At
Tamhid berkata, “Diharamkan mencukur jenggot. Tidak ada yang melakukannya
kecuali laki-laki yang bergaya seperti perempuan.” (Lihat Minal Hadiin Nabawi
I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media
Hidayah)[5] Pendapat lain yang lebih moderat mengatakan , sebagaimana yang
tertulis dalam kitab ‘aunul ma’bud menyatakan : [7]
“Ketahuilah
bahwa dalam permasalahan memotong kumis terdapat banyak sekali variasi kata
yang dipakai. Diantaranya adalah : qoshshun, halqun*, taqshirun, juzzun,
ihfa’un, dan nahiikun. Perbedaan ini berimbas pada munculnya perbedaan pendapat
di antara para ‘ulama. Sebagian mengunggulkan memotong saja (tanpa mencukur
habis pen.), sedang sebagian yang lain memilih makna kedua. Tetapi sebagian
lain (yang moderat) memahami perbedaan tersebut sebagai bagian dari bolehnya
melakukan keduanya (dengan kondisi dan situasi tertentu). Imam al-qurthuby
mengatakan : yang dimaksud dengan hadis qoshshu asy syarib adalah mengambil
bagian kumis yang panjangnya melebihi bibir atau boleh saja memanjangkan kumis
dengan catatan, itu tidak mempersulit ketika makan dan tidak menjadi tempat
terkumpulnya kotoran (dan atau terlihat jorok). Masih menurut al qurthuby,
juzzun dan ihfa’un maknanya adalah sebagaimana makna qoshshun yang disebutkan
di atas. Dan bukanlah maksudnya dengan mencukur habis”
Ibn
Sayyid memiliki pendapat berbeda (dengan mayoritas ulama’) dengan mengatakan
bahwa makna dari hadis ini adalah memperpanjang dengan (batasan) mengambil yang
panjang dan tak terawat (al ishlah). [8]
Walaupun banyak diketemukann pendapat ulama’ tentang keharaman mencukur
jenggot, penulis memahami bahwa itu semua dikarenakan kondisi ulama’ masa itu
yang tidak jauh berbeda dengan kondisi di zaman Nabi SAW. Tetapi munculnya
perkataan yang moderat sebagaimana yang diungkapkan oleh al-thobary tersebut
juga menunjukkan adanya ulama’ yang tidak hanya melihat dari redaksi dan
formulasi kata saja, tetapi lebih jauh, mereka memahami hadis nabi dengan
berbagai sudut pandang.
Meninjau Ulang Hadis; dalam Pemahaman
Masyarakat tentang Kumis dan Jenggot Banyak orang
mengatakan bahwa memanjangkan jenggotnya merupakan sebuah keharusan demi
mendapatkan predikat bahwa ia telah mengikuti sunah sebagaimana yang di
syariatkan oleh agama islam. Disadari memang, hadis tersebut oleh sebagian umat
Islam mereka pahami secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa Nabi telah
menyuruh semua kaum laki-laki untuk memelihara kumis dengan memangkas jenggot
dengan memanjangkannya. Mereka memandang bahwa ketentuan itu merupakan salah
satu kesempurnaaan dalam mengamalkan ajaran Islam.[9]
Perintah
Nabi tersebut memang relevan untuk orang-orang Arab, Pakistan, dan lain-lain
yang secara ilmiah mereka dikaruniai rambut yang subur, termasuk di bagian
kumis dan jenggot. Tingkat kesuburan dan ketebalan rambut milik orang-orang
Indonesia tidak sama dengan milik orang-orang arab tersebut. Banyak orang
Indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang. Atas kenyataan itu, maka hadis
tersebut harus dipahami secara kontekstual. Kandungan hadisnya bersifat lokal.
Dengaan mengutip sejumlah hadis Nabi di atas, ternyata pemahaman terhadap
pelbagai petunjuk hadis Nabi bila dihubungkan dengan latar belakang terjadinya,
ada yang harus diterapkan secara tekstual dan ada yang harus diterapkan secara
kontekstual. Dalam pada itu, kandungan hadis diatas tidak bisa dipahami
hukumnya secara universal.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perbedaan
pendapat ulama tentang hukum memelihara jenggot. Sekali lagi ini fakta, dan
tidak bisa didustakan, kecuali ada yang bisa menunjukkan bahwa penisbahan
pendapat-pendapat di atas kepada empunya pendapat keliru. Dan ini bukan
persoalan tarjih, pendapat mana yang lebih
kuat. Mengakui ada pendapat yang berbeda itu satu hal, dan memilih pendapat
yang dianggap paling kuat itu hal lain lagi.
Namun,
walaupun terdapat perbedaan pendapat, bagaimanapun ia tetap sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disyariatkan bagi kita umat Islam, seluruh
ulama sepakat tentang hal ini. Jadi, haram bagi seorang muslim menghina dan
mengejek orang yang mengamalkan sunnah ini. Ini adalah sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan umat Islam seharusnya semangat menjalankan sunnah ini,
apalagi di masa sekarang, di saat umat Islam banyak yang kehilangan ghirah
keislaman dan kebanggaannya terhadap Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bayan Wa Al-Ta’rif
Fi Asbabil Wurud… hlm. 291 jilid II (Hadis No. 971)
Al-Bayan Wa al ta’rif
Fi Asbabil wurud…..hlm. 100 Jilid I (Hadis No. 74)
Ibn hajar al ‘asqolany,
fath al bary CD ROM. al-Maktabah al-Shamilah. Kutub el-Barnamij fi syuruh al
hadis, Vol : 16, hal : 484
http://delss.wordpress.com/2007/11/25/hukum-mencukur-jenggot-memotong-kumis/
diakses tanggal 25 oktober 2008
http://www.indonesiaindonesia.com/f/6731-hukum-memotong-jenggot/
Muhammad Syamsul Haq,
‘Aunul ma’bud CD ROM. al-Maktabah al-Shamilah. Kutub el-Barnamij fi syuruh al
hadis, Vol 11, hal. 168
Ibn hajar al
‘asqolany, fath al bary CD ROM. al-Maktabah al-Shamilah. Kutub el-Barnamij fi
syuruh al hadis, Vol : 16, hal : 484
Syuhudi Ismail. Hadis
Nabi yang tekstual dan kontekstual. (Jakarta: PT bulan bintang, 1994). Hlm. 68
Post a Comment for "Makalah Tentang Kumis Dan Jenggot"