Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Tentang Kumis Dan Jenggot

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sebagian pembenci Islam menganggap dan mengopinikan jenggot sebagai ciri khas teroris. Jika ada seorang laki-laki memelihara jenggot, maka ia adalah teroris, atau minimal berpikiran radikal dan intoleran. Ini adalah bagian upaya mereka untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran dan ciri khas mereka. Jenggot, celana cingkrang, jilbab, cadar, dan ciri-ciri khas muslim lainnya dianggap dan diopinikan sebagai ciri khas teroris. Sayangnya, opini pembenci Islam ini ‘dimakan mentah-mentah’ oleh sebagian kaum muslimin.
Di sisi yang lain, sebagian umat Islam yang begitu tinggi ghirah Islamnya, dan begitu kuat keinginan mengikuti sunnah-nya, namun kurang memahami persoalan khilafiyah, akhirnya menjadikan jenggot sebagai standar ahlus sunnah atau ahlul bid’ah-nya seseorang. Yang memelihara jenggot, berarti ia ahlus sunnah, sedangkan yang mencukur jenggot, berarti ia ahlul bid’ah. Mereka juga tutup mata dan tutup telinga terhadap fakta bahwa ulama berbeda pendapat tentang kewajiban memelihara jenggot ini. Orang-orang seperti ini mudah mengklaim mutlak kebenaran ada pada dirinya atau komunitasnya, dan yang menyelisihi berarti salah mutlak.
Pada kesempatan pertama kali ini, kelompok kami akan  mencoba menerangkan tentang Perselisihan Hukum Islam antar Memelihara Kumis dan Jenggot. Makalah ini akan memaparkan tentang pengertian dan sekelumit tentang hukum memeihara Kumis dan Jenggot.
B.     Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah dam Makalah ini antara lain:
a)      Apa Pengertian Kumis dan Jenggot?
b)      Bagaimana memlihara Jenggot dalam Fiqih?
c)      Bagaimana Asbabul Wurudh Hadist memelihara Kumis dan Jenggot?
d)     Bagaimana Penjelasan Hadist tentang memlihara Kumis dan Jenggot?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kumis dan Jenggot
Kumis adalah nama rambut yang membentang di atas mulut. Begitulah para ulama fikih mendefinisikan.[1] Tidak ada masalah di atas dan bawah kumis, dia tidak menyerupai jenggot. Yang menyerupai adalah dua ujung kumis. Yang dinamakan ‘As-Syabbalin’. Diantara para ulama fiqih berpendapat keduanya termasuk kumis sebagaimana pendapat Hanabilah, pendapat Hanafiyah dan Malikiyah. Diantara mereka berpendapat ia termasuk jenggot sebagaimana pendapat sebagian Hanafiyah. Atau keduanya termasuk kumis akan tetapi berpendapat tidak mengapa dibiarkannya seperti pendapat Syafiiyyah.
Janggut adalah rambut yang tumbuh pada daerah dagupipi, dan leher pria. Rambut di daerah di atas bibir kadang juga dikelompokkan sebagai "janggut" walaupun secara spesifik lebih sering disebut kumis. Ilmu yang mempelajari janggut disebut pogonologi. Sepanjang sejarah, pria berjanggut telah diasosiasikan dengan berbagai atribut seperti bijaksanamaskulin, atau berstatus tinggi, tetapi kadang juga diasosiasikan sebagai kurang rapi atau eksentrik. Dalam syariat Islam, umat Muslim disunnahkan untuk memotong habis kumis dan memelihara janggut, sekiranya orang tersebut berbakat memiliki janggut.[2]
B.     Hukum Memelihara Jenggot dalam Fiqih
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224] dikatakan bahwa seluruh ulama sepakat memelihara jenggot merupakan perkara yang diperintahkan oleh Syari’ah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
1.      Hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
خَالِفُوا المُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Artinya: “Selisihilah orang-orang musyrik. Peliharalah (jangan cukur) jenggot dan cukurlah kumis kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5892)
2.      Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Artinya: “Cukurlah kumis dan biarkanlah (jangan dicukur) jenggot kalian. Selisihilah orang-orang Majusi.” (HR. Muslim no. 260)
3. Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ …
Artinya: “Sepuluh perkara yang termasuk fitrah, yaitu mencukur kumis, memelihara jenggot, …” (HR. Muslim no. 261)
Ibnu Hajar menyatakan bahwa orang-orang Majusi ada yang memotong pendek jenggot mereka dan ada juga yang mencukurnya habis (Fathul Bari [10/349]). Walaupun memelihara jenggot merupakan perkara yang disyariatkan dalam Islam, namun tidak otomatis hukumnya wajib atau ulama sepakat atas kewajibannya. Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah ada beberapa pembahasan terkait memelihara jenggot ini, dan yang terpenting di antaranya adalah tentang :
a)      Memanjangkan dan melebatkan jenggot dengan treatment tertentu,
b)      Memotong jenggot yang panjangnya melebihi genggaman tangan, dan
c)      Mencukur habis jenggot.
Memanjangkan dan Melebatkan Jenggot dengan Treatment Tertentu
Ibn Daqiq al-‘Ied berkata:
لَا أَعْلَمُ أَحَدًا فَهِمَ مِنَ الْأَمْرِ فِي قَوْلِهِ أَعْفُوا اللِّحَى تَجْوِيزَ مُعَالَجَتِهَا بِمَا يُغْزِرُهَا كَمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ
Artinya: “Saya tidak mengetahui ada orang yang memahami perintah Nabi dalam sabda beliau, ‘peliharalah jenggot’ dengan kebolehan memberikan treatmenttertentu agar jenggot tersebut tumbuh lebat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang.” (Fathul Bari [10/351]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah[35/224])

Jadi, bagi yang memang dari sononya tidak punya jenggot, tidak usah sedih, dan tidak usah juga membeli penumbuh jenggot berharga mahal untuk merealisasikan perintah Nabi ini. Perintah memelihara jenggot ini hanya untuk yang dikaruniai jenggot oleh Allah ta’ala.
Memotong Jenggot yang Melebihi Genggaman Tangan
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Berikut sedikit gambarannya:
1)      Tidak boleh memotong jenggot, walaupun panjangnya melebihi genggaman tangan. Yang berpendapat seperti ini misalnya adalah Imam an-Nawawi. Beliau menyatakan bahwa kebolehan memotong jenggot yang melebihi genggaman tersebut bertentangan dengan zhahir hadits yang memerintahkan membiarkannya (tidak mencukurnya). (Fathul Bari [10/350]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224])
2)      Boleh memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan. Ini adalah pendapat Hanabilah dan Hanafiyyah. Mereka melandasi pendapatnya ini dengan atsar dari Ibn ‘Umar:
إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
Artinya: “(Ibnu ‘Umar) ketika berhaji atau ber-‘umrah beliau menggenggam jenggotnya, dan yang melebihi genggaman tersebut beliau potong.” (HR. Al-Bukhari no. 5892)
Terkait riwayat dari al-Bukhari di atas, Mushthafa al-Bugha memberikan ta’liq­-nya, bahwa yang dimaksud dengan  fadhala adalah ‘melebihi dari genggaman’ dan akhadzahu artinya qashshahu (memotongnya). Secara terperinci, kalangan Hanabilah menyatakan bahwa tidak makruh hukumnya memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan, dan ini yang dinyatakan oleh Imam Ahmad (Syarh Muntaha al-Iradat [1/44]; Nailul Ma-arib[1/57]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Sedangkan Hanafiyyah menyatakan bahwa memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad dari Abu Hanifah (al-Fatawa al-Hindiyyah [5/358]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Ada juga pendapat dari kalangan Hanafiyyah yang menyatakan wajib memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan, dan berdosa membiarkannya (tidak memotongnya) (Hasyiyah Ibn ‘Abidin [2/417]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Adapun memotongnya lebih pendek dari genggaman tangan, maka Ibn ‘Abidin berkata, ‘tidak ada seorangpun yang membolehkannya’ (Hasyiyah Ibn ‘Abidin[2/418]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225])
3)      Jenggot tidak dipotong kecuali jika jenggot tersebut semrawut (tidak rapi) karena begitu panjang dan lebatnya. Pendapat ini dinukil oleh ath-Thabari dari al-Hasan dan ‘Atha. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibn Hajar, dan menurut beliau karena alasan inilah Ibn ‘Umar memotong jenggotnya. ‘Iyadh berkata bahwa memotong jenggot yang terlalu panjang dan lebat itu baik, bahkan dimakruhkan membiarkan jenggot yang terlalu panjang dan lebat sebagaimana dimakruhkan memendekkannya (Fathul Bari [10/350]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).


Salah satu dalil yang digunakan oleh yang berpendapat seperti ini adalah hadits:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُولِهَا
Artinya: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu memotong jenggotnya karena sangat lebat dan panjangnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2762, dan beliau berkata, ‘ini hadits gharib’)
Tentang hadits ini, Ibn Hajar dalam Fathul Bari [10/350] memuat pernyataan al-Bukhari tentang ‘Umar ibn Harun (periwayat hadits ini), ‘saya tidak mengetahui hadits munkar darinya, kecuali hadits ini’. Ibn Hajar juga menyatakan bahwa sekelompok ulama mendhaifkan ‘Umar ibn Harun secara mutlak.
Mencukur Habis Jenggot
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225-226] dinyatakan bahwa mayoritas fuqaha, yaitu kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan satu pendapat dari kalangan Syafi’iyyah mengharamkan mencukur habis jenggot. Di al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462], Syaikh Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa kalangan Malikiyyah dan Hanabilah mengharamkan mencukur habis jenggot, sedangkan kalangan Hanafiyyah menyatakan hukumnya makruh tahrim.
Kelompok yang mengharamkan ini beralasan bahwa mencukur habis jenggot bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memeliharanya. Dan Ibn ‘Abidin dalam kitab Hasyiyah-nya (sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya) menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang membolehkan memotong jenggot lebih pendek dari genggaman tangan (al-akhdzu minal lihyah duunal qabdhah), sedangkan mencukur habis jenggot (halqul lihyah) lebih dari itu (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/226]). Maksudnya, memotong jenggot lebih pendek dari genggaman tangan saja tidak boleh, apalagi mencukur habis jenggot tersebut.
Dalam Hasyiyah ad-Dusuqi [1/90] dinyatakan, ‘Haram bagi seorang laki-laki mencukur habis jenggot dan kumisnya, dan orang yang melakukan itu diberi sanksi ta’dib’. Berbeda dengan jumhur fuqaha, pendapat yang ashah dari kalangan Syafi’iyyah menyatakan bahwa mencukur habis jenggot hukumnya makruh (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/226]). Syaikh Wahbah az-Zuhaili, ulama besar kontemporer bermadzhab Syafi’i, di kitab beliau al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462], juga menyatakan hal yang sama, bahwa mencukur habis jenggot menurut madzhab Syafi’i hukumnya makruh tanzih.
Az-Zuhaili juga menukil pernyataan an-Nawawi tentang sepuluh kebiasaan yang dimakruhkan terkait dengan jenggot, dan salah satunya adalah mencukur habisnya. Dikecualikan dari hal ini, jika jenggot tersebut tumbuh pada seorang perempuan, maka mustahab mencukurnya habis (Syarh Shahih Muslim [3/149-150]; al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462]).

C.    Asbab al-wurudh Hadist Kumis dan Jenggot
Bukhori Muslim menceritakan dari Maimun bin Mahran yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar berkata bahwasannya Rasulullah ingat akan orang Majusyi yang selalu membiarkan misai (kumis) dan memangkas jenggotnya. Maka Rasulullah pun menyuruh untuk berbeda dengan mereka. Diceritakan dari Ibn Al-Nujjar yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas berkata, ada seseorang datang menemui Rasulullah dari negri ‘ajam, Ia memangkas jenggotnya dan memelihara kumisnya. Maka Rasulullah pun bersabda: “jauhilah hal semacam itu. Akan tetapi potonglah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian”.[3] Dalam versi yang lain di sebutkan bahwa Muslim No. 380 juga memiliki asba al-wurudh yakni sebagai berikut ;
Bazzar menceritakan dari Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah bahwasannya Rasulullah melihat seseorang yang kumisnya panjang (lebat). Kemudian beliau berkata : “Maka bersihkanlah sebagaimana engkau bersiwak. Jadikanlah siwak hanya pada mulut dan jangan sampai melebihi batas. Oleh karena itu cukurlah kumismu.”[4]

D.    Penjelasan Hadist memelihara Kumis dan Jenggot
Perbedaan pemahaman diantara ulama’ salaf tentang hukum memotong kumis dan memanjangkan jenggot sangatlah beragam. Sejauh penelusuran penulis, fuqoha’ abad pertengahan cenderung memaknai hadis ini secara tekstual sesuai dengan yang tersurat dalam zahir hadis (meskipun ada yang menyalahinya seperti yang akan dipaparkan nanti). Yaitu dengan mengatakan bahwa memotong kumis dan memelihara jenggot adalah sebuah keharusan bagi orang muslim. Walaupun banyaknya ragam lafadz yang dipakai dalam menunjukkan makna “memotong”, juga menjadi sesuatu hal yang menimbulkan banyak pertentangan di antara mereka. 
Ibn Hajar berkata: “Dengan pengertian bahwa makna a’fu (aslinya) adalah membiarkan, maka membiarkan jenggot berarti “memperbanyak”nya. ini adalah pendapat jumhur yang benar (di antara pendapat lainnya).[5]
Pada intinya, mayoritas Ulama’ dan ahli fiqih secara tegas menyatakan bahwa mencukur jenggot itu haram. Ibnu Hazm berkata, “Para ulama sepakat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan mutslah yang terlarang.” Mutslah adalah perbuatan memperburuk atau membuat jelek. Tidaklah diragukan bahwa wajah adalah anggota tubuh yang mulia, karena di sana terdapat sejumlah indera. Wajah juga merupakan sumber/pusat ketampanan. Pada wajah terdapat ciptaan Allah yang indah yang seharusnya dijaga dan diperlakukan secara istimewa. Tidak malah dihinakan dan dibuat agar tampak buruk/jelek.[6]
Dalam Al Ikhtiyarot Al Ilmiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Dan beliau mengikuti mazhab Imam Ahmad -ed) berkata, “Diharamkan mencukur jenggot berdasar berbagai hadis yang shahih dan tidak seorang ulama pun yang membolehkannya.” Ibnu Abidin dari kalangan ulama Hanafiah dalam Roddul Muhtar menyatakan, “Diharamkan bagi laki-laki memotong jenggot.” Dalam Al Umm Imam Syafi’i menegaskan haramnya mencukur jenggot. Dari kalangan Malikiyyah, Al ‘Adawi menukil pernyataan Imam Malik, “Itu termasuk perbuatan orang-orang Majusi.” Ibnu ‘Abdil Bar dalam At Tamhid berkata, “Diharamkan mencukur jenggot. Tidak ada yang melakukannya kecuali laki-laki yang bergaya seperti perempuan.” (Lihat Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media Hidayah)[5] Pendapat lain yang lebih moderat mengatakan , sebagaimana yang tertulis dalam kitab ‘aunul ma’bud menyatakan : [7]
“Ketahuilah bahwa dalam permasalahan memotong kumis terdapat banyak sekali variasi kata yang dipakai. Diantaranya adalah : qoshshun, halqun*, taqshirun, juzzun, ihfa’un, dan nahiikun. Perbedaan ini berimbas pada munculnya perbedaan pendapat di antara para ‘ulama. Sebagian mengunggulkan memotong saja (tanpa mencukur habis pen.), sedang sebagian yang lain memilih makna kedua. Tetapi sebagian lain (yang moderat) memahami perbedaan tersebut sebagai bagian dari bolehnya melakukan keduanya (dengan kondisi dan situasi tertentu). Imam al-qurthuby mengatakan : yang dimaksud dengan hadis qoshshu asy syarib adalah mengambil bagian kumis yang panjangnya melebihi bibir atau boleh saja memanjangkan kumis dengan catatan, itu tidak mempersulit ketika makan dan tidak menjadi tempat terkumpulnya kotoran (dan atau terlihat jorok). Masih menurut al qurthuby, juzzun dan ihfa’un maknanya adalah sebagaimana makna qoshshun yang disebutkan di atas. Dan bukanlah maksudnya dengan mencukur habis”
Ibn Sayyid memiliki pendapat berbeda (dengan mayoritas ulama’) dengan mengatakan bahwa makna dari hadis ini adalah memperpanjang dengan (batasan) mengambil yang panjang dan tak terawat (al ishlah). [8] Walaupun banyak diketemukann pendapat ulama’ tentang keharaman mencukur jenggot, penulis memahami bahwa itu semua dikarenakan kondisi ulama’ masa itu yang tidak jauh berbeda dengan kondisi di zaman Nabi SAW. Tetapi munculnya perkataan yang moderat sebagaimana yang diungkapkan oleh al-thobary tersebut juga menunjukkan adanya ulama’ yang tidak hanya melihat dari redaksi dan formulasi kata saja, tetapi lebih jauh, mereka memahami hadis nabi dengan berbagai sudut pandang.
Meninjau Ulang Hadis; dalam Pemahaman Masyarakat tentang Kumis dan Jenggot Banyak orang mengatakan bahwa memanjangkan jenggotnya merupakan sebuah keharusan demi mendapatkan predikat bahwa ia telah mengikuti sunah sebagaimana yang di syariatkan oleh agama islam. Disadari memang, hadis tersebut oleh sebagian umat Islam mereka pahami secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa Nabi telah menyuruh semua kaum laki-laki untuk memelihara kumis dengan memangkas jenggot dengan memanjangkannya. Mereka memandang bahwa ketentuan itu merupakan salah satu kesempurnaaan dalam mengamalkan ajaran Islam.[9]
Perintah Nabi tersebut memang relevan untuk orang-orang Arab, Pakistan, dan lain-lain yang secara ilmiah mereka dikaruniai rambut yang subur, termasuk di bagian kumis dan jenggot. Tingkat kesuburan dan ketebalan rambut milik orang-orang Indonesia tidak sama dengan milik orang-orang arab tersebut. Banyak orang Indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang. Atas kenyataan itu, maka hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual. Kandungan hadisnya bersifat lokal. Dengaan mengutip sejumlah hadis Nabi di atas, ternyata pemahaman terhadap pelbagai petunjuk hadis Nabi bila dihubungkan dengan latar belakang terjadinya, ada yang harus diterapkan secara tekstual dan ada yang harus diterapkan secara kontekstual. Dalam pada itu, kandungan hadis diatas tidak bisa dipahami hukumnya secara universal.




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Perbedaan pendapat ulama tentang hukum memelihara jenggot. Sekali lagi ini fakta, dan tidak bisa didustakan, kecuali ada yang bisa menunjukkan bahwa penisbahan pendapat-pendapat di atas kepada empunya pendapat keliru. Dan ini bukan persoalan tarjih, pendapat mana yang lebih kuat. Mengakui ada pendapat yang berbeda itu satu hal, dan memilih pendapat yang dianggap paling kuat itu hal lain lagi.
Namun, walaupun terdapat perbedaan pendapat, bagaimanapun ia tetap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disyariatkan bagi kita umat Islam, seluruh ulama sepakat tentang hal ini. Jadi, haram bagi seorang muslim menghina dan mengejek orang yang mengamalkan sunnah ini. Ini adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan umat Islam seharusnya semangat menjalankan sunnah ini, apalagi di masa sekarang, di saat umat Islam banyak yang kehilangan ghirah keislaman dan kebanggaannya terhadap Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Bayan Wa Al-Ta’rif Fi Asbabil Wurud… hlm. 291 jilid II (Hadis No. 971) 
Al-Bayan Wa al ta’rif Fi Asbabil wurud…..hlm. 100 Jilid I (Hadis No. 74) 
Ibn hajar al ‘asqolany, fath al bary CD ROM. al-Maktabah al-Shamilah. Kutub el-Barnamij fi syuruh al hadis, Vol : 16, hal : 484 
http://delss.wordpress.com/2007/11/25/hukum-mencukur-jenggot-memotong-kumis/ diakses tanggal 25 oktober 2008 
http://www.indonesiaindonesia.com/f/6731-hukum-memotong-jenggot/ 
Muhammad Syamsul Haq, ‘Aunul ma’bud CD ROM. al-Maktabah al-Shamilah. Kutub el-Barnamij fi syuruh al hadis, Vol 11, hal. 168 
Ibn hajar al ‘asqolany, fath al bary CD ROM. al-Maktabah al-Shamilah. Kutub el-Barnamij fi syuruh al hadis, Vol : 16, hal : 484 
Syuhudi Ismail. Hadis Nabi yang tekstual dan kontekstual. (Jakarta: PT bulan bintang, 1994). Hlm. 68

Post a Comment for "Makalah Tentang Kumis Dan Jenggot"