Makalah Kemerdekaan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragama.
Kehidupan beragama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
seluruh masyarakat Indonesia, termasuk kita sebagai pelajar. Kemerdekaan
beragama dan berkepercayaan mengandung makna bahwa setiap manusia bebas
memilih, melaksanakan ajaran agama menurut keyakinan dan kepercayaannya, dan
dalam hal ini tidak boleh dipaksa oleh siapapun, baik itu oleh pemerintah,
pejabat agama, masyarakat, maupun orang tua sendiri. Kemerdekaan beragama dan
berkepercayaan muncul dikarenakan secara prinsip tidak ada tuntunan dalam agama
apa pun yang mengandung paksaan atau menyuruh penganutnya untuk memaksakan
agamanya kepada orang lain, terutama terhadap orang yang telah menganut salah
satu agama.
Kemerdekaan
beragama bukan pula dimaknai sebagai kebebasan untuk menarik orang yang telah
beragama atau mengubah agama yang telah dianut seseorang. Selain itu
kemerdekaan beragama juga tidak diartikan sebagai kebebasan untuk beribadah
yang tidak sesuai dengan tuntunan dan ajaran agama masing-masing, dengan kata
lain tidak diperbolehkan untuk menistakan agama dengan melakukan peribadatan
yang menyimpang dari ajaran agama yang dianutnya.
Dalam hidup beragama, tentunya kerukunan
antar umat sangatlah tidak boleh lemah. Kerukunan umat beragama merupakan sikap
mental umat beragama dalam rangka mewujudkan kehidupan yang serasi dengan tidak
membedakan pangkat, kedudukan sosial dan tingkat kekayaan. Kerukunan umat
beragama dimaksudkan agar terbina dan terpelihara hubungan baik dalam pergaulan
antara warga baik yang seagama, berlainan agama maupun dengan pemerintah.
Kerukunan antar umat beragama adalah
cara atau sarana untuk
mempersatukan dan mempererat hubungan antara orang-orang yang tidak Kemerdekaan beragama dan kepercayaan tidak boleh dimaknai
sebagai kebebasan untuk tidak beragama atau kebebasan untuk
memaksaakan ajaran agama kepada orang lain yang sudah memeluk
agama yang diyakininya. Seagama dalam proses pergaulan pergaulan di masyarakat, tetapi bukan ditujukan untuk mencampuradukan ajaran agama. Ini perlu dilakukan untuk menghindari terbentuknya fanatisme ekstrim yang membahayakan keamanan, dan ketertiban umum.
mempersatukan dan mempererat hubungan antara orang-orang yang tidak Kemerdekaan beragama dan kepercayaan tidak boleh dimaknai
sebagai kebebasan untuk tidak beragama atau kebebasan untuk
memaksaakan ajaran agama kepada orang lain yang sudah memeluk
agama yang diyakininya. Seagama dalam proses pergaulan pergaulan di masyarakat, tetapi bukan ditujukan untuk mencampuradukan ajaran agama. Ini perlu dilakukan untuk menghindari terbentuknya fanatisme ekstrim yang membahayakan keamanan, dan ketertiban umum.
Bentuk nyata yang bisa dilakukan adalah
dengan adanya dialog antar umat beragama yang di dalamnya bukan membahas
perbedaan, akan tetapi memperbincangkan kerukunan, dan perdamaian hidup dalam
bermasyarakat. Intinya adalah bahwa masing-masing
agama mengajarkan untuk hidup dalam kedamaian
dan ketentraman.
Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah,
maksudnya adalah dalam hidup beragama, masyarakat tidak lepas dari adanya
aturan pemerintah setempat yang mengatur tentang kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat tidak boleh hanya mentaati aturan dalam agamanya masing-masing, akan
tetapi juga harus mentaati hukum yang berlaku di negara Indonesia.
Untuk itulah penulis menelaah dan
mengkaji bagaimana keadaan kemerdekaan beragama dan berkepercayaan di Indonesia
serta mengkaji apa saja hal yang perlu dilakukan oleh berbagai pihak yang
meliputi pemerintah dan masyarakat Indonesia agar dapat menjaga kerukunan
penduduk Indonesia dalam beragama dan memiliki kepercayaan masing – masing.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari karya tulis
ini, yaitu :
1. Bagaimana keadaan penduduk Indonesia
dalam beragama dan berkepercayaan di Indonesia?
2. Bagaimana membangun kerukunan umat dalam
beragama dan berkepercayaan di Indonesia?
3. Bagaimana sikap toleransi masyarakat
terhadap keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari karya tulis ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui bagaimana keadaan
penduduk Indonesia dalam beragama dan berkepercayaan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana membangun
kerukunan umat dalam beragama dan berkepercayaan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui bagaimana sikap toleransi
masyarakat terhadap keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia.
D. Manfaat
Penulisan
Adapun
manfaat penulisan dalam karya tulis ini, yaitu :
1. Bagi pemerintah, diharapkan pemerintah
dapat bertindak dengan baik dalam menangani berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
2. Bagi masyarakat, diharapkan masyarakat
dapat meningkatkan sikap toleransi
terhadap keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
3. Bagi siswa, diharapkan agar siswa dapat
mengetahui serta memahami tentang pentingnya menanamkan sikap toleransi
terhadap keberagaman agama dan
kepercayaan yang ada di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Seputar Mengenai Agama
Agama di dunia jumlahnya ada banyak sekali.
Sedangkan di Indonesia ada 6 agama yang diakui secara resmi yaitu Katolik,
Kristen Protestan, Islam, Hindhu, Buddha, Khonghucu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) pengertian atau definisi agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Istilah
agama sendiri adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Sanskerta “āgama”
yang memiliki arti “tradisi”.
Istilah asing lainnya yang mempunyai
pengertian sama dengan agama adalah religi yang berasal dari bahasa latin
“religio” dan berakar pada kata kerja “re-ligare” yang memiliki arti “mengikat
kembali”. Mengikat di sini maksudnya yaitu dengan ber-religi maka seseorang
akan mengikat dirinya kepada tuhan. Di Indonesia ini, mayoritas penduduknya memeluk agama Islam
dengan total pemeluknya mencapai 87,18% dari seluruh total populasi penduduk
Indonesia. Kemudian kristen protestan sebanyak 6,96%, katolik sebanyak 2,9%;
hindu sebanyak 1,69%; buddha sebanyak 0,72%; dan Khonghucu sebanyak 0,05%;.
Data tersebut diperoleh berdasar hasil sensus tahun 2010. Bisa saja saat ini
jumlahnya telah mengalami sedikit perubahan.
Adapun pengertian
agama menurut para ahli :
a. Menurut
Émile Durkheim definisi Agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri
atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci dan
menyatukan semua penganutnya dalamsuatu komunitas moral yang di namakan umat.
b. Menurut
prof Dr.m. Drikarya definisi Agama adalah kenyakinan adanya suatu kekuatan
supranatural yang mengatur danmenciptakan alam dan isinya.
c. Menurut
H. Moenawar Chalil definisi Agama adalah perlibatan yang merupakan tingkah laku
manusia dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai
konsekuensi atas pengakuannya.
d. Menurut
Hendro Puspito definisi Agama adalah sistem nilai yang mengatur hubungan
manusia dan alam semesta yang berkaitan dengan keyakinan.
e. Menurut
Jappy Pellokild definisi Agama adalah percaya adanya tuhan yang maha esa dan
hukum-hukumnya.
B.
Definisi Kepercayaan
Kepercayaan adalah kemauan seseorang
untuk bertumpu pada orang lain dimana kita memiliki keyakinan padanya.
Kepercayaan merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan
konteks sosialnya. Ketika seseorang mengambil suatu keputusan, ia akan lebih
memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang- orang yang lebih dapat ia
percaya dari pada yang kurang dipercayai (Moorman, 1993).
Menurut Rousseau et al (1998),
kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima
apa adanya berdasarkan harapan terhadap perilaku yang baik dari orang lain.
Kepercayaan konsumen didefinisikan sebagai kesediaan satu pihak untuk menerima
resiko dari tindakan pihak lain berdasarkan harapan bahwa pihak lain akan
melakukan tindakan penting untuk pihak yang mempercayainya, terlepas dari
kemampuan untuk mengawasi dan mengendalikan tindakan pihak yang dipercaya (Mayer
et al, 1995).
Menurut Ba dan Pavlou (2002)
mendefinisikan kepercayaan sebagai penilaian hubungan seseorang dengan orang
lain yang akan melakukan transaksi tertentu sesuai dengan harapan dalam sebuah
lingkungan yang penuh ketidakpastian. Universitas Sumatera Utara Kepercayaan
terjadi ketika seseorang yakin dengan reliabilitas dan integritas dari orang
yang dipercaya (Morgan & Hunt, 1994). Doney dan Canon (1997) bahwa
penciptaan awal hubungan mitra dengan pelanggan didasarkan atas kepercayaan.
Hal yang senada juga dikemukakan
oleh McKnight, Kacmar, dan Choudry (dalam Bachmann & Zaheer, 2006),
menyatakan bahwa kepercayaan dibangun sebelum pihak-pihak tertentu saling
mengenal satu sama lain melalui interaksi atau transaksi. Kepercayaan secara
online mengacu pada kepercayaan dalam lingkungan virtual. Menurut Rosseau,
Sitkin, dan Camere (1998), definisi kepercayaan dalam berbagai konteks yaitu
kesediaan seseorang untuk menerima resiko.
Diadaptasi dari definisi tersebut,
Lim et al (2001) menyatakan kepercayaan konsumen dalam berbelanja internet
sebagai kesediaan konsumen untuk mengekspos dirinya terhadap kemungkinan rugi
yang dialami selama transaksi berbelanja melalui internet, didasarkan harapan
bahwa penjual menjanjikan transaksi yang akan memuaskan konsumen dan mampu
untuk mengirim barang atau jasa yang telah dijanjikan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kepercayaan konsumen adalah kesediaan satu pihak menerima
resiko dari pihak lain berdasarkan keyakinan dan harapan bahwa pihak lain akan
melakukan tindakan sesuai yang diharapkan, meskipun kedua belah pihak belum
mengenal satu sama lain.
C. Ciri
– Ciri Kemerdekaan Beragama dan Berkepercayaan
Ciri – ciri kemerdekaan beragama dan berkepercayaan begitu
banyak contoh sikapnya. Diantara contoh sikapnya adalah :
1. Kebebasan memeluk agama, yaitu setiap orang bebas
memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu
2. Negara menjamin kemerdekaan
warganya untuk bribadah, yaitu negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya masing - masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
3. Kebebasan untuk
menetapkan agama atas pilihan sendiri, yaitu setiap orang berhak atas kebebasan
berpikir, keyakinan dan beragama.
4. Tanpa paksaan dalam
menganut agama / kepercayaan, yaitu tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga
terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya
sesuai dengan pilihannya.
5. Hanya ketentuan
hukum yang bisa membatasi seseorang dalam menentukan agama / kepercayaan, yaitu
kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya
dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum.
6. Pendidikan agama
harus sesuai dengan keyakinan masing-masing individu Negara. Pihak dalam
Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui,
wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi
anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri
D.
Dasar Hukum Yang Mengatur Tentang Beragama dan
Berkepercayaan
Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia
ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal
28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) :
“Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945juga diakui
bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga
menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama. Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan.
Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur
bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya
mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan
dalam undang-undang.
Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap
patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang. Lukman Hakim Saifuddin dan Patrialis Akbar, selaku mantan anggota
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, dalam persidangan di Mahkamah
Konstitusipernah menceritakan kronologis dimasukkannya 10 pasal baru
yang mengatur tentang HAM dalam amandemen kedua UUD 1945, termasuk di antaranya
pasal-pasal yang kami sebutkan di atas. Menurut keduanya, ketentuan-ketentuan
soal HAM dari Pasal 28A sampai 28I UUD 1945 telah dibatasi atau “dikunci” oleh
Pasal 28J UUD 1945.
BAB
III
METODOLOGI
PENULISAN
A.
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini
merupakan metode deskriptif analisis, yaitu melakukan pengkajian, penggambaran
dan penjelasan mengenai pentingnya kemerdekaan beragama dan berkepercayaan di
Indonesia serta pentingnya penanam sikap toleransi dalam menjaga kerukunan
masyarakat Indonesia terhadap keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di
Indonesia.
B.
Waktu dan Tempat Penulisan
Penulisan karya tulis ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2015. Penulis melaksanakan penulisan karya tulis ini
bertempat di SMA Plus Negeri 2 Banyuasin III.
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data penulisan dilakukan dengan menggunakan
teknik studi pustaka dan dokumentasi.
1. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk menambah data agar
data-data yang diambil lebih lengkap. Data-data diperoleh antara lain melalui
media cetak seperti buku-buku yang berhubungan, dan media elektronik seperti
melalui internet.
2.
Dokumentasi
Dokumentasi
dilakukan dengan cara mengumpulkan gambar – gambar yang berkaitan dengan materi
bahasan dalam karya tulis ini (kemerdekaan keberagaman agama dan kepercayaan di
Indonesia)
D. Analisis Data
Penganalisisan dilakukan dengan menggunakan
analisis kulitatif. Analisis ini memperoleh sumber informasi melalui metode study pustaka dengan
mengumpulkan data dari berbagai informasi seperti buku-buku yang berhubungan,
dan media elektronik seperti melalui internet.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Bagaimana Keadaan Penduduk Indonesia Dalam Beragama
dan Berkepercayaan Di Indonesia?
Beragama adalah menjadikan suatu ajaran agama sebagai jalan
dan pedoman hidup berdasarkan keyakinan bahwa jalan tersebut adalah jalan yang
benar. Karena bersumber dari keyakinan diri, maka yang paling menentukan
keberagamaan seseorang adalah hati nurani. Oleh karena itu agama adalah urusan
paling pribadi. Apakah seseorang meyakini dan menjalankan ajaran suatu agama
atau tidak, ditentukan oleh keyakinan dan motivasi pribadi dan konsekuensinya
pun ditanggung secara pribadi.
Keberagamaan seseorang menjadi tidak bermakna sama sekali
jika dilakukan tanpa keyakinan dan semata-mata ditentukan oleh faktor di luar
diri sendiri. Islam secara tegas dinyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam
agama. Beragama dengan keterpaksaan adalah sebuah kemunafikan.
Oleh karena itu beragama adalah hak asasi manusia yang masuk dalam kategori hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Konsekuensinya, siapapun harus menghormati, menghargai, dan tidak melanggar hak orang lain dalam beragama.
Oleh karena itu beragama adalah hak asasi manusia yang masuk dalam kategori hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Konsekuensinya, siapapun harus menghormati, menghargai, dan tidak melanggar hak orang lain dalam beragama.
Bahkan negara tidak memiliki otoritas untuk menentukan mana
agama yang benar dan mana agama yang salah. Keyakinan saya bahwa agama Islam
adalah agama yang benar dan diridloi Allah SWT bukan karena Islam diakui
sebagai agama yang “sah” oleh negara. Sebaliknya, saya tidak memilih agama yang
lain juga bukan karena agama tersebut tidak diakui secara “sah” oleh negara.
Yang menentukan adalah keyakinan saya sendiri. Jika saya
memeluk Islam sebagai agama saya dan beribadah menurut ajaran seperti mayoritas
yang dilakukan oleh umat Islam yang lain semata-mata karena pengakuan yang
diberikan oleh pemerintah, maka saya telah menjadi munafik, dan keberagamaan
saya tidak bermakna sama sekali dihadapan Allah.
Sebaliknya, tujuan pembentukan negara adalah untuk melindungi hak warga negara dan memenuhi kepentingan seluruh rakyatnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an, salah satu tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, tentu saja tanpa diskriminasi baik berdasarkan suku, bahasa, maupun agama. Oleh karena itu, menjadi salah satu tugas negara untuk melindungi hak kebebasan setiap orang dalam beragama dan beribadat.
Sebaliknya, tujuan pembentukan negara adalah untuk melindungi hak warga negara dan memenuhi kepentingan seluruh rakyatnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an, salah satu tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, tentu saja tanpa diskriminasi baik berdasarkan suku, bahasa, maupun agama. Oleh karena itu, menjadi salah satu tugas negara untuk melindungi hak kebebasan setiap orang dalam beragama dan beribadat.
Beragama secara mendasar adalah wilayah pribadi setiap insan
manusia, karena yang paling esensi dalam beragama adalah keyakinan dan
kepercayaan individual. Namun demikian, karena agama tidak hanya mengajarkan
kehidupan pribadi manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur kehidupan
bermasyarakat, agama juga menjadi wilayah masyarakat. Apalagi, jika agama
tersebut telah berkembang luas dan menjadi salah satu identitas yang menonjol
dari suatu masyarakat.
Konsekuensi perkembangan agama sebagai identitas dan wilayah
kemasyarakatan adalah munculnya peran masyarakat mayoritas yang menentukan
keberagamaan seseorang, serta justifikasi sosial apakah aliran agama tertentu
benar atau salah, paling tidak dapat diterima atau tidak. Peran tersebut
bagaimanapun juga telah mengurangi hakikat agama sebagai hak asasi yang
mendasar berdasarkan keyakinan dan kepercayaan individual.
Hal itu tidak dapat dihindari karena masyarakat membutuhkan kepastian dan pegangan dalam beragama. Bagi masyarakat awam, adalah tugas para pemimpin agama untuk memberikan kepastian tentang keberagamaan yang dipandang benar diantara berbagai aliran yang ada.
Hal itu tidak dapat dihindari karena masyarakat membutuhkan kepastian dan pegangan dalam beragama. Bagi masyarakat awam, adalah tugas para pemimpin agama untuk memberikan kepastian tentang keberagamaan yang dipandang benar diantara berbagai aliran yang ada.
Namun tentu juga merupakan tugas para pemimpin agama untuk
senantiasa memberikan pemahaman bahwa tidak ada paksaan dalam agama, membangun
ukhuwah dalam keberagaman. Oleh karena itu, adanya kekerasan terhadap kelompok
aliran agama minoritas juga menjadi tanggungjawab para pemuka agama. Mengingat
kebebasan beragama adalah bagian dari hak asasi, dan negara memiliki
tanggungjawab untuk memberikan perlindungan, penghormatan, dan pemajuan hak
asasi, maka dalam hal tertentu kehidupan beragama juga menjadi wilayah negara.
Pada posisi inilah harus terdapat pembeda yang dapat dijadikan pegangan
sehingga peran negara tidak terlalu jauh memasuki urusan individu, serta tidak
pula memasuki ranah masyarakat. Jika negara telah memasuki urusan individu,
maka hakikat beragama sebagai wujud keyakinan hati nurani dan kepercayaan
individual akan hilang.
Di sisi lain, jika negara terlalu jauh memasuki wilayah
masyarakat, maka negara dapat tergelincir menjadi alat mayoritas yang menindas
minoritas. Untuk menentukan bagaimana seharusnya negara berperan dalam
kehidupan beragama, harus terdapat prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai
pegangan. Pertama, pengakuan hak kebebasan beragama sebagai hak asasi.
Pengakuan tersebut mengharuskan negara tidak dapat melarang agama apapun atau
aliran apapun yang masuk dan berkembang di Indonesia, sepanjang sesuai dengan
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.
Persoalan apakah agama atau aliran tersebut akan diterima
oleh masyarakat dan berkembang atau tidak, itu adalah wilayah masyarakat. Negara
tidak dapat menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang salah. Negara
juga tidak dapat menentukan cara beribadah mana yang benar dan mana yang salah.
Konsekuensinya, negara tidak dapat melarang cara beribadah tertentu walaupun
oleh mayoritas masyarakat hal itu dipandang menyimpang. Hingga saat inipun
tidak ada larangan hukum terhadap cara ibadat tertentu, walaupun terhadap suatu
aliran yang dinyatakan menyimpang.
Jika negara memasuki wilayah pribadi, maka negara telah membatasi hak kebebasan beragama dan beribadat.
Jika negara memasuki wilayah pribadi, maka negara telah membatasi hak kebebasan beragama dan beribadat.
Di sisi lain, keberagamaan dan ibadah yang dilakukan
berdasarkan paksaan akan menghilangkan makna keberagamaan seseorang karena
dilakukan tanpa keyakinan dan kepercayaan, tetapi karena paksaan semata. Jika
berharap terjadi perubahan, maka biarlah perubahan tersebut juga didasari oleh
perubahan keyakinan. Perubahan keyakinan hanya dapat dilakukan melalui proses
dialog dan penyadaran yang menjadi wilayah masyarakat, bukan oleh paksaan
negara. Oleh karena itu, sikap yang menyatakan suatu agama atau aliran tersebut
menyimpang atau tidak, termasuk cara beribadahnya adalah wilayah masyarakat.
Negara baru dapat masuk wilayah agama dalam dua kondisi. Pertama, jika agama
atau aliran yang dipandang menyimpang tersebut bertentangan dengan dasar-dasar
perikemanusiaan dan kemasyarakatan.
Intervensi negara tersebut sah adanya karena pada prinsipnya
setiap agama mengajarkan penghargaan dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip
kemanusiaan dan kemasyarakatan. Jika suatu agama atau aliran menghalalkan
pembunuhan, pencurian, memutus hubungan kekeluargaan, maka negara harus
bertindak. Tindakan negara tersebut tidak hanya terhadap tindakan-tindakan
berdasarkan ajaran agama yang merupakan tindak pidana, tetapi juga dapat
melarang perkembangan agama tersebut.
Pelarangan itu memiliki legitimasi karena agama atau aliran
agama dimaksud nyata-nyata bertentangan dengan hakikat ajaran agama dan
merugikan kemanusiaan dan kemasyarakatan. Kondisi kedua di mana dibutuhkan
peran negara adalah pada saat masyarakat, atau sekelompok orang melakukan
tindakan yang melanggar hak kebebasan beragama orang lain, padahal keyakinan
dan kepercayaan orang yang dilanggar itu tidak bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Walaupun agama atau aliran agama itu dinyatakan menyimpang
dan atau telah berada di luar suatu agama, sekelompok orang tidak dapat
melanggar hak kebebasan keyakinan dan beribadat para pemeluk agama atau aliran
agama tersebut. JIka hal itu terjadi, negara harus melindungi. Bahkan jika
terjadi kekerasan terhadap para penganut agama atau aliran agama yang dipandang
menyimpang, maka negara harus menindak para pelakunya. Tindakan tersebut adalah
terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan, bukan terhadap keyakinan bahwa
agama atau aliran agama tertentu adalah menyimpang.
Masyarakat atau organisasi keagamaan seperti NU,
Muhammadiyah, atau bahkan MUI memiliki hak untuk menentukan suatu aliran
tertentu masih dapat diakui sebagai Islam atau tidak. Penentuan itupun tentu
dilakukan melalui mekanisme pengkajian dan pengambilan keputusan yang diatur
oleh masing-masing organisasi. Namun dalam kehidupan tertib bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, tentu organisasi-organisasi tersebut dan masyarakat
secara umum tidak dapat melakukan kekerasan terhadap aliran yang dipandang
tidak sesuai lagi dengan pinsip ajaran Islam.
Sebaliknya, organisasi-organisasi itu tentu memiliki
kewajiban untuk mencegah terjadinya kekerasan. Oleh karena itu setiap fatwa
harus diikuti dengan “petunjuk” bagaimana menyikapi fatwa tersebut sebagai
bentuk pertanggungjawaban agar tidak terjadi kekerasan dan paksaan terhadap
minoritas. Kekerasan dan paksaan itu tidak saja bertentangan dengan hukum
negara, tetapi juga bertentangan dengan hukum agama.
2. Bagaimana
Membangun Kerukunan Umat Dalam Beragama dan Berkepercayaan Di Indonesia?
Kerukunan
umat beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam
kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat
dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam
memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan
pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus
memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hukum dan telah
terdaftar di pemerintah daerah.
Pemeliharaan
kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat
merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth lainnya.
Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan
umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instensi vertical, menumbuh kembangkan
keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara
umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.
Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten.
Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten.
Dengan
hubungan yang bersifat konsultatif dengan tugas melakukan dialog dengan pemuka
agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas keagamaan dan
aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai
bahan kebijakan. Kerukunan antar umat beragama dapat diwujdkan dengan;
1. Saling tenggang rasa, saling menghargai,
toleransi antar umat beragama
2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk
agama tertentu
3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan
4. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam
Agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah.
Dengan demikian
akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama, ketentraman
dan kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara. Kerukunan
umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat
adanya toleransi agama. Toleransi agama adalah suatu sikap saling pengertian
dan menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam
masalah agama.
Kerukunan umat beragama adalah hal
yang sangat penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup di negeri ini.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki keragaman yang begitu banyak. Tak
hanya masalah adat istiadat atau budaya seni, tapi juga termasuk
agama. Walau mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, ada
beberapa agama lain yang juga dianut penduduk ini.
Kristen, Khatolik, Hindu, Budha dan
Konghucu adalah contoh agama yang juga banyak dipeluk oleh warga
Indonesia. Setiap agama tentu punya aturan masing-masing dalam beribadah.
Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk berpecah belah. Sebagai satu saudara
dalam tanah air yang sama, kita harus menjaga kerukunan umat beragama di
Indonesia untuk bersama-sama membangun negara ini menjadi yang lebih baik.
Adapun konsep tri kerukunan umat
beragama di Indonesia, yaitu :
- Kerukunan intern umat beragama, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut Kristen.
- Kerukunan antar umat beragama , yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan antar umat Islam dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua agama.
- Kerukunan umat beragama dengan pemerintah, yaitu bentuk kerukunan semua umat-umat beragama menjalin hubungan yang yang harmoni dengan Negara/ pemerintah. Misalnya tunduk dan patuh terhadap aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah ikut andil dalam menciptakan suasana tentram, termasuk kerukunan umar beragama dengan pemerintah itu sendiri. Semua umat beragama yang diwakili oleh tokoh-tokon agama dapat sinergi dengan pemerintah. Bekerjasama dan bermitra dengan pemerintah untuk menciptakan stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa.
Seluruh peraturan pemerintah
yang membahas kerukunan hidup umat beragama, harus mencakup empat pokok
masalah, yaitu sebagai berikut.
- Pendirian Rumah Ibadah
- Penyiaran agama
- Bantuan keagamaan dari luar negeri
- Tenaga asing bidang keagamaan
3.
Bagaimana Sikap Toleransi Masyarakat Terhadap Keberagaman
Agama dan Kepercayaan Di Indonesia?
Semua manusia pada dasarnya sama.
Membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama manusia karena warna kulit atau
bentuk fisik lainnya adalah sebuah kesalahan. Tuhan menciptakan manusia berbeda
dan beragam. Perbedaan itu adalah anugerah yang harus kita syukuri. Mengapa
kita harus bersyukur dengan keragaman itu? Dengan keragaman, kita menjadi
bangsa yang besar dan arif dalam bertindak. Agar keberagaman bangsa Indonesia
juga menjadi sebuah kekuatan, kita bangun keberagaman bangsa Indonesia dengan
dilandasi persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan dan kesatuan di sebuah negara yang
beragam dapat diciptakan salah satunya dengan perilaku masyarakat yang
menghormati keberagaman bangsa dalam wujud perilaku toleran terhadap
keberagaman tersebut. Sikap toleransi berarti menahan diri, bersikap sabar,
membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang
memiliki pendapat berbeda.
Toleransi sejati didasarkan sikap
hormat terhadap martabat manusia, hati nurani, dan keyakinan, serta keikhlasan
sesama apa pun agama, suku, golongan, ideologi atau pandangannya. Perhatikan
dan bacalah penjelasan perilaku toleran terhadap keberagaman agama, suku, ras,
budaya, dan gender di bawah ini.
1.
Perilaku Toleran dalam Kehidupan
Beragama
Semua orang di Indonesia tentu
menyakini salah satu agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia. Pemerintah
Indonesia mengakui enam agama yang ada di Indonesia. Agama tersebut adalah
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Bukankah kalian sejak
kecil sudah meyakini dan melaksanakan ajaran agama yang kalian anut. Negara
menjamin warga negaranya untuk menganut dan mengamalkan ajaran agamanya
masing-masing.
Jaminan negara terhadap warga negara
untuk memeluk dan beribadah diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Bunyi
lengkap Pasal 29 ayat (2) adalah “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam kehidupan berbangsa, seperti
kita ketahui keberagaman dalam agama itu benar-benar terjadi. Agama tidak
mengajarkan untuk memaksakan keyakinan kita kepada orang lain. Oleh karena itu,
bentuk perilaku kehidupan dalam keberagaman agama di antaranya diwujudkan dalam
bentuk:
a. menghormati
agama yang diyakini oleh orang lain;
b. tidak
memaksakan keyakinan agama kita kepada orang yang berbeda agama;
c. bersikap
toleran terhadap keyakinan dan ibadah yang dilaksanakan oleh yang memiliki
keyakinan dan agama yang berbeda
d. melaksanakan
ajaran agama dengan baik; serta
e. tidak
memandang rendah dan tidak menyalahkan agama yang berbeda dan dianut oleh orang
lain.
f. Perilaku
baik dalam kehidupan beragama tersebut sebaiknya kita laksanakan, baik
dikeluarganya, sekolah, masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
2.
Perilaku Toleran Terhadap
Keberagaman Suku dan Ras di Indonesia
Perbedaan suku dan ras antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain hendaknya tidak menjadi kendala dalam membangun persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia maupun dalam pergaulan dunia. Kita harus menghormati
harkat dan martabat manusia yang lain. Marilah kita mengembangkan semangat
persaudaraan dengan sesama manusia dengan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Perbedaan kita dengan orang lain tidak berarti bahwa orang
lain lebih baik dari kita atau kita lebih baik dari orang lain. Baik dan
buruknya penilaian orang lain kepada kita bukan karena warna, rupa, dan bentuk,
melainkan karena baik dan buruknya kita dalam berperilaku. Oleh karena itu,
sebaiknya kita berperilaku baik kepada semua orang tanpa memandang berbagai
perbedaan tersebut.
3.
Perilaku
Toleran Terhadap Keberagaman Sosial Budaya
Kehidupan sosial dan keberagaman
kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia tentu menjadi kekayaan bangsa
Indonesia. Kita tentu harus bersemangat untuk memelihara dan menjaga kebudayaan
bangsa Indonesia. Siapa lagi yang akan mempertahankan budaya bangsa jika bukan
kita sendiri. Bagi seorang pelajar perilaku dan semangat kebangsaan dalam
mempertahankan keberagaman budaya bangsa di antaranya dapat dilaksanakan
dengan:
- mengetahui keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia.
- mempelajari dan menguasai salah satu seni budaya sesuai dengan minat dan kesenangannya;
- merasa bangga terhadap budaya bangsa sendiri; dan
- menyaring budaya asing yang masuk ke dalam bangsa Indonesia.
4.
Kesadaran
Gender
Tuhan menciptakan manusia dalam dua
jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan pada dasarnya
sama. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan itulah yang dinamakan
dengan jenis kelamin. Jadi, jenis kelamin merujuk pada hubungan antara
laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, dan bagaimana
hubungan tersebut dilihat berdasarkan sifat kodrat.
Pengertian gender tidak didasarkan
pada sifat kodrat manusia. Gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan
kedudukan, fungsi, dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Gender dibentuk dan berkembang seiring dengan budaya masyarakat. Gender bukan
bawaan sejak lahir.
Tiap-tiap masyarakat memiliki
perkembangan budayanya sendiri, demikian pula dalam perkembangan budaya bangsa
Indonesia. Pemahaman gender di Indonesia tentulah akan sejalan dengan
perkembangan budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman dan kesadaran
gender bersifat dinamis dan dapat berbeda antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain.
Kesadaran gender bararti meletakan
kedudukan, fungsi, dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat
secara sejajar. Misalnya dalam keluarga, maka setiap anggota keluarga
bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapian rumah tempat tinggalnya. Anak
laki-laki atau anak perempuan, keduanya bisa menjaga kebersihan dan kerapian
rumah tempat tinggalnya. Di sekolah, laki-laki atau perempuan sama-sama dapat
menjadi guru. Dalam masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan dapat mengambil
peran yang berguna bagi sesama manusia lainnya.
BAB V
PENUTUP
A.
Simpulan
Adapun
beberapa simpulan dalam karya tulis ini yaitu :
1. Keadaan penduduk Indonesia dalam beragama
dan berkepercayaan akan menjadi baik jika dilandasi dengan sikap toleransi yang
tinggi dan akan memburuk jika tidak dilandasi sikap kerukunan antar sesama.
2. Membangun kerukunan umat dalam beragama dan
berkepercayaan di Indonesia dapat dilakukan dengan cara menerapkan tri kerukunan
umat beragama yang dapat menjaga kerukunan antar sesama umat beragama dan
berkepercayaan di Indonesia.
3. Sikap toleransi masyarakat terhadap
keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia saat ini rendah, karena
masyarakat kurang memiliki kesadaran dalam menjaga kerukunan antar sesama umat
dalam beragama dan berkepercayaan sehingga menyebabkan kurangnya sikap
toleransi diantara sesama.
B.
Saran
Adapun saran yang terdapat dalam karya
tulis ini yaitu :
1. Perlu adanya peningkatan sikap toleransi
di kalangan para siswa agar terciptanya kerukunan antar siswa dalam menyikapi
keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
2. Diharapkan agar setiap masyarakat dapat
hidup rukun dengan selalu menerapkan konsep tri kerukunan umat beragama agar
dapat menyikapi keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia dengan
sikap yang baik.
Post a Comment for "Makalah Kemerdekaan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia"