Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL “Reservation of Multilateral Treaty”

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL
“Reservation of Multilateral Treaty”

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Puji dan syukur penulis panjatkan keadirat Tuhan yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nyalah, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Hukum Internasional Tentang Reservation of Multilateral Treaty. Penulisan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengajar mata kuliah Hukum Internasional.
Makalah ini ditulis berdasarkan beberapa referensi buku dan internet sehingga diharapkan dapat mewakili seluruh sumber yang telah dikutip agar makalah ini tidak kehilangan kekiniannya.
Penulis berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua yang mana dapat menambah wawasan kita, khususnya bagi pembaca. Makalah ini mungkin masih jauh dari  kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari dosen pengajar mata kuliah Hukum Internasioanl dan para pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Walaikumsalam,wr.wb
Balininjuk,   5 Oktober 2017

                                                                                                      Penulis
                                                                                                    Kelompok 7

DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................ ii
Daftra Isi................................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan.................................................................................................. 1
A.    Latar Belakang................................................................................................ 1
B.     Fokus Masalah................................................................................................. 2
C.     Tujuan Penulisan............................................................................................. 2
Bab II Permasalahan............................................................................................... 3
A.    Rumusan Masalah........................................................................................... 3
B.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi............................................................... 3
Bab III Pembahasan................................................................................................ 5
A.    Landasan Teori................................................................................................. 5
B.     Pokok Pembahasan........................................................................................... 7
1.      Pengaruh Kedaulatan Negara dalam Menekan Lahirnya
 Sebuah Pensyaratan.................................................................................... 7
2.      Kedudukan Perjanjian Internasional dalam Hukum
 Nasional Indonesia...................................................................................... 9
3.      Perbedaan Reservasi Sistem Suara Bulat dengan Sistem
Pan Amerika................................................................................................ 11
4.      Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Terhadap
Negara Pihak Ke-3...................................................................................... 13
Bab IV Penutup....................................................................................................... 17
A.  Simpulan............................................................................................................ 17
B.  Saran.................................................................................................................. 18
Daftar Pustaka......................................................................................................... 19



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan dalam masyarakat internasional senantiasa bertumpu pada suatu tatanan norma. Pada kodratnya masyarakat internasional itu saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan hubungan ini satu sama lain diperlukan suatu kondisi, yaitu keadaan yang tertib dan aman, untuk berlangsungnya keadaan yang tertib dan aman ini diperlukan suatu tatanan norma. Dalam sejarah tatanan norma tersebut telah berproses dan berkembang menjadi apa yang dikenal dengan Hukum Internasional. Sebagai suatu sistem hukum, hukum internasional mempunyai beberapa sumber hukum, seperti yang dinyatakan dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional yang salah satunya diantaranya ialah perjanjian-perjanjian Internasional.
Dalam Konferensi Wina tahun 1969 yang diadakan atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berhasil disepakati sebuah naskah perjanjian yang lebih dikenal dengan nama Viena Convention on the Law of Treaties atau Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969.Penjanjian (treaty) baik bilateral maupun multilateral merupakan suatu bentuk kodifikasi hukum kebiasaan kedalam hukum positif internasional. Proses kodifikasi biasanya dilakukan dalam konvensi-konvensi internasional. Didalam konvensi biasanya dilakukan perumusan, perundingan, singkatnya sampai pelaksanaan isi perjanjian, baik dengan cara ratifikasi bagi negara yang mau terikat hak dan kewajibannya terhadap perjanjian. Seyogyanya isi perjanjian dilaksanakan secara penuh agar tercapai kesempurnaan perjanjian itu sendiri, namun hal ini tentunya sulit dicapai ketika melibatkan kepentingan setiap negara yang ikut dalam konvensi terutama yang bersifat multilateral. Kepentingan negara- negara yang berbeda inilah yang biasanya membuat suatu permasalahan pada saat perumusan dan perundingan suatu substansi perjanjian. Keadaan dilema bagi negara peserta konvensi dipertaruhkan ketika isi perjanjian itulebih banyak menguntungkan negaranya, tetapi ada beberapa bagian dari peranjian yang memang tidak menguntugkan bagi negara tersebut
ataupun bertentangan dengan konstitusi negaranya. Untuk menghindarkan negara mundur untuk tidak meratifikasi dan/atau mengaksesi perjanjian maka suatu perjanjian dibuatkan suatu pengecualian dalam bentuk resevarsi atau pensyaratan yang berarti suatu pernyataan sepihak dari suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkannya.
Pensyaratan tersebut mencerminkan asas kedaulatan suatu negara, dimana suatu negara memiliki hak untuk menolak ketentuan-ketentuan tertentu dalam perjanjian internasional yang bertentangan dengan hukum nasional negara tersebut.Kemudian permasalahan selanjutnya ialah hal itu juga berlaku bagi negara ketiga yang ingin ikut serta dalam perjanjian tetapi tidak secara penuh menerima semua ketentuan dalam perjanjian.
B.Fokus Masalah
            Makalah ini hanya membahas mengenai pensyaratan dalam perjanjian multilateral serta kedudukan perjanjian internasional ketika bertentangan dengan hukum nasional suatu negara.
C. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kedaulatan negara dalam menekan lahirnya sebuah pensyaratan.
2.      Untuk menguji kedudukan perjanjian Internasional dalam sistem perundang- undangan nasional jika terjadi pertentangan.
3.      Untuk dapat mengetahui seberapa besar pengaruh reservasi dalam pembuatan   hukum perjanjian Internasional.
4.      Untuk mengetahui perbedaan reservasi sistem Suara Bulat dengan sistem Pan Amerika.
5.      Untuk mengetahui seberapa besar kekuatan mengikat hukum Internasional terhadap negara pihak ketiga.



BAB II
PERMASALAHAN
A.Ruang Lingkup Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam makalah ini ialah:
1.      Bagaimana pengaruh kedaulatan negara dalam menekan lahirnya sebuah pensyaratan?
2.      Bagaimana kedudukan perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia?
3.      Apakah perbedaan reservasi sistem Suara Bulat dengan sistem Pan Amerika?
4.      Bagaimana kekuatan mengikat perjanjian Internasional terhadap negara pihak ketiga?
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
a. Faktor Kelebihan
1.      Adanya prinsip “res inter alios acta” yaitu perjanjian internasional hanya mengikat pihak-pihak yang berjanji saja.
2.      Perjanjian multilateral dapat mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa persetujuan negara-negara ketiga. Sebagaimana pasal 2 ayat (6) Piagam PBB yang berbunyi organisasi ini menjamin agar negara-negara bukan anggota perserikatan bangsa-bangsa bertindak dengan prinsip-prinsip ini apabila dianggap perlu demi perdamaian dan keamanan internasional.
b. Faktor Kelemahan
1.      Adanya prinsip “ pacta teriis nec nocent nec prosunt” yaitu perjanjian internasional tidak menimbulkan hak ataupun kewajiban bagi negara ketiga.
2.      Banyaknya perbedaan kepentingan- kepentingan negara dalam suatu perjanjian internasional sehingga pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara sangat sulit untuk diterima.
3.      Sistem pensyaratan dapat menimbulkan kesukaran- kesukaran karena uniformitas perjanjian menjadi tidak terjaga karena pensyaratan suatu negara dapat berlainan dengan negara lain, disamping itu integritas perjanjian tidak terjamin lagi dan akan sulit juga untuk diketahui pasal-pasal mana yang berlaku atau tidak berlaku bagi suatu negara.
c. Faktor Peluang
1.      Negara yang menyatakan keberatannya terhadap pensyaratan yang diajukan oleh negara lain, dapat menganggap dirinya tidak terikat dalam perjanjian dengan negara tersebut.
2.      Negara mempunyai hak menolak ratifikasi yang mana hal itu tidak mempunyai dampak dari segi hukum.
3.      Salah satu sebab batalnya suatu perjanjian ialah jika bentuk perjanjian yang salah atau bertentangan dengan hukum nasional.
d. Faktor Ancaman
1.      Adanya prinsip pacta sunt servanda yaitu tiap-tiap perjanjian berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
2.      Sehubungan dengan point pertama maka tentunya akan terjadi  pertentangan antara hukum internasional yang telah diratifikasi kedalam hukum nasional dengan hukum nasional suatu negara, apabila pensyaratan suatu negara terhadap perjanjian internasional tersebut ditolak yang mana hal itu tentunya juga akan merusak kepentingan-kepentingan  negara tersebut.
3.      Penolakan ratifikasi dapat mempengaruhi perpolitikan luar negeri termasuk menghambat berkembangnya suatu perjanjian internasional menjadi kaidah hukum positif yang secara tidak langsung akan menghambat lahirnya sarana untuk mengatur kehidupan masyarakat internasional.



BAB III
PEMBAHASAN
A.Landasan Teori
Dalam era globalisasi, interdependensi, saling ketergantungan negara dan saling keterkaitan isu-isu baik regional maupun global, tidaklah dapat dihindarkan bertambah banyaknya perjanjian internasional yang harus dibuat untuk mengatur interaksi dan kerja sama negara di berbagai bidang demi terciptanya kehidupan masyarakat dunia yang aman dan harmonis.Menurut Konvensi wina pada pasal 2 Tahun 1969, Perjanjian Internasional (treaty) ialah“Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.”Sementara itu perjanjian multilaretal itu sendiri ialah perjanjian yang apabila pihaknya lebih dari dua negara atau hampir seluruh negara di dunia dan tidak terikat dalam satu kawasan tertentu.
Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, ketentuan mengenai pensyaratan ini secara terperinci diatur dalam pasal 19 sarnpai dengan pasal 23. Dimana masing-masing pasal mengatur masalah penyusunan suatu pensyaratan (pasal 19), penerimaan dan penolakannya (pasal 20), akibat hukum dari penerimaan dan penolakan pensyaratan (pasal 21), pembatalan atau penarikan kembali suatu pensyaratan (pasal 22) dan prosedur mengenai pensyaratan (pasal 23).  Pasal-pasal tersebut pada pokoknya menentukan bahwa larangan atau pembatasan   terhadap pensyaratan, atau perumusan syarat-syarat khusus untuk mengatur penerimaannya, harus diatur oleh ketentuan-ketentuan yang dimuatkan di dalam perjanjian yang bersangkutan.Berkaitan dengan itu, adapun pengertian reservasi( pensyaratan) adalah suatu pernyataan sepihak yang dibuat oleh suatu negara pada waktu menandatangani, menerima, meratifikasi, mengesahkan atau mengaksesi perjanjian yang isi pokoknya adalah untuk mengeluarkan atau untuk mengubah akibat hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam pemberlakuannya terhadap negara tersebut.
Kemudian terdapat suatu pengecualian ketika suatu negara mengajukan pensyaratan terhadap perjanjian yaitu pensyaratan dilarang oleh perjanjian dan pensyaratan tersebut tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perjanjian.Namun bila pensyaratan ini dimungkinkan, sistem ini dapat pula menimbulkan kesukaran- kesukaran karena uniformitas perjanjian menjadi tidak terjaga yang mana pensyaratan suatu negara dapat berlainan dengan negara lain, disamping itu integritas perjanjian tidak terjamin lagi dan akan sulit juga untuk diketahui pasal-pasal mana yang berlaku atau tidak berlaku bagi suatu negara.Walaupun sistem tersebut menimbulkan kesulitan-kesulitan namun praktek internasional memberikan kebebasan untuk melakukan pensyaratan .Mahkamah Internasional dalam pendapatnya yang dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 1951 mengakui praktek pensyaratan dengan memberikan pembatasan rangkap:
1.      Pensyaratan tidak boleh bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian.
2.      Negara yang menyatakan keberatannya terhadap pensyaratan yang diajukan oleh negara lain, dapat menganggap dirinya tidak terikat dalam perjanjian dengan negara tersebut.
Kemudian akibat hukum bagi negara pihak perjanjian termuat didalam pasal 26 Konvensi Wina 1969, yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith”.Beranjak dari itu, walaupun negara telah menandatangani suatu perjanjian namun negara tersebut secara hukum tidak dapat diwajibkan umtuk meratifikasikan perjanjian tersebut.Didalam hukum internasional juga terdapat prinsip pacta tertiis nex nocent nec prosunt yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara ketiga.Akan tetapi jika dikaitkan dengan perjanjian multilateral hal tersebut berkontradiksi karena pada prinsipnya perjanjian tersebut berlaku universal termasuk bagi negara-negara pihak ketiga yang mana hal ini sejalan dengan pasal 2 ayat (6) Piagam PBB yang berbunyi “organisasi ini menjamin agar negara-negara bukan anggota perserikatan bangsa-bangsa bertindak dengan prinsip-prinsip ini apabila dianggap perlu demi perdamaian dan keamanan internasional”.
B.Pokok Pembahasan
1.Pengaruh Kedaulatan Negara dalam Menekan Lahirnya Sebuah Pensyaratan.
Perjanjian merupakan manifestasi dari keinginan negara- negara atas sebuah aturan internasional yang penerapannya tidak bertentangan dengan konstitusinya dan tentunya tidak mencederai kedaulatan masing- masing negara. Kedaulatan merupakan salah satu unsur pembentuk negara sehingga aturan hukum internasional diusahakan serelevan mungkin dengan aturan hukum umum pada setiap negara didunia. Kedaulatan menurut kamus hukum internasional dan Indonesia oleh Drs. Soesilo Prajogo,S.H. yang diterbitkan Wacana Intelektual berarti “Kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara dan daerahkedaulatan suatu negara”, dengan mengacu pada definisi diatas maka suatu problem akan muncul ketika negara- negara ikut dalam suatu konvensi internasional, dimana disetiap negara pasti mempunyai perbedaan konstitusi.
Kesadaran bahwa dalam sistem dan struktur masyarakat internasional, negara-negara sebagai subjek utama hukum internasional memiliki kedaulatan, dan dengan dasar kedaulatan itu maka negara tidak bisa dipaksa untuk menerima atau menyetujui sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Dalam hubungannya dengan suatu perjanjian internasional, atas dasar kedaulatan itu maka suatu negara berhak penuh untuk menentukan apakah akan menyatakan setuju terikat ataukah menolak terikat pada suatu perjanjian internasional. Problematisnya adalah ketika didalam perjanjian itu ada beberapa ketentuan yang merugikan dan ada juga yang menguntungkan bagi negara, pilihannya adalah menyetujui untuk terikat atau tidak sama sekali.
Pilihan manapun yang ditempuh akan menimbulkan masalah lanjutan baik bagi negara itu maupun bagi perjanjian itu sendiri, bahkan dalam ruang lingkup yang lebih luas akan menimbulkan dampak tehadap masyarakat internasional pada umumnya, lebih- lebih jika perjanjian itu merupakan perjanjian internasional multilateral global. Masalah yang timbul bagi negara adalah jika tidak mau terikat pada perjanjian padahal sebagian besar dari ketentuan perjanjian itu menguntungkan baginya, sebaliknya jika memaksakan terikat pada perjanjian padahal ada beberapa ketentuan yang merugikan bagi negaranya, hal ini menempatkan negara pada pilihan yang sulit.Selanjutnya bagi perjanjian itu sendiri, hal ini akan menghambat bagi perkembangan hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional bila makin sedikit negara yang menyatakan setuju untuk terikat pada perjanjian tersebut. Hal ini juga akan menghambat konsep ideal dari perjanjian itu pada tatanan pelaksanaannya yang riil.
Bagi masyarakat internasional secara umum, terhambatnya suatu perjanjian internasional berkembang menjadi kaidah hukum positif berarti akan menghambat lahirnya sarana untuk mengatur kehidupan masyarakat internasional. Dengan dua pilihan diatas tentunya akan sulit dipenuhi oleh negara- negara yang ikut dalam perjanjian untuk terikat karena sifatnya yang terlalu ekstrim.Untuk mengakomodasi kepentingan tiap-tiap negara tanpa mengesampingkan kedaulatan disatu sisi yang berseberangan dengan ketentuan dalam perjanjian, kemudian diperkenalkan pranata hukum internasional yang disebut reservasi (pensyaratan) untuk menjembatani kedaulatan negara-negara dalam keterikatannya pada perjanjian internasional dengan perjanjian itu sendiri. Hal ini membuat terang bahwa pensyaratan (reservasi) lahir dari sebuah jurang antara kedaulatan dan ketentuan pada suatu perjanjian.
Mengenai pensyaratan instrumen positifnya diatur dalam konvensi wina 1969 pada Pasal 2 ayat (1) point (d) mengenai definisi dari persyaratan dan diatur pula dalam lima pasal yaitu Pasal 19 (mengenai ketentuan pengajuan suatu pensyaratan sampai pembatasannya pada perjanjian internasional), Pasal 20 (mengenai diterima atau ditolaknya pensyaratan yang diajukan suatu negara oleh negara peserta lainnya),  Pasal 21(diatur mengenai akibat hukum dari pensyaratan), Pasal 22 ( diatur mengenai penarikan kembali suatu pensyaratan atau sebuah penolakan) dan Pasal 23 (diatur mengenai prosedur pensyaratan secara menyeluruh). Dengan adanya aturan yang jelas mengenai pensyaratan akan memudahkan bagi negara peserta konvensi atau negara ketiga apabila ingin ikut terikat pada perjanjian dengan mengecualikan beberapa ketentuan yang diperbolehkan oleh perjanjian itu sendiri.
Secara umum perjanjian internasional yang didalamnya diikuti oleh negara sebagai peserta berkiblat (atau instrumen hukumnya) pada ketentuan konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Ketentuan dalam konvensi wina tegasnya terdapat 8 (delapan) bagian yang terdiri dari 85 pasal, yang diharapkan dapat mengakomodasi ketentuan hukum internasional bagi suatu perjanjian.
2.Kedudukan Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia
Sebagai negara merdeka yang berdaulat, Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan negara-negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.Dasar kewenangan presiden dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang dasar 1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut:
1)      Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat       perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
2)      Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
3)      Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan pasal  11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan surat Presiden Nomor 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional.Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan jenis peraturan  perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan, meskipun tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-undangan, namun perjanjian internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan lainnya (pasal 7 ayat 4 undang-undang nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).Berdasarkan sistem Hukum Nasional, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik bilateral maupun multilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada    ketentuan - ketentuan dalam konvensi atau perjanjian tersebut. Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan kedalam suatu undang – undang(hukum nasional).
Ratifikasi suatu perjanjian internasional adalah suatu tahap yang paling penting dalam treaty making procces karena pada tahap itulah negara memberikan persetujuannya untuk diikat secara definitif yang mana juga berarti menyerahkan sedikit kedaulatan negara kepada suatu perjanjian internasional.Karena perjanjian internasional itu diwujudkan untuk berlaku secara umum , tentu saja tidak dapat menampung aspirasi dan kepentingan semua negara.Untuk itu negara-negara pihak harus mengambil langkah yang salah satunya ialah menghapuskan ketentuan yang tidak sesuai agar dapat melaksanakan dengan baik suatu konvensi yang telah diterima yakni dengan cara mengajukan pensyaratan sebelum meratifikasikan suatu konvensi/perjanjian internasional.
Beranjak dari itu, langkah pensyaratan tersebut tidak bisa menjamin bahwa perjanjian internasional yang telah diratifikasikan tersebut mampu dilaksanakan dengan baik karena adannya faktor kelemahan  dari sistem pensyaratan tersebut yakni banyaknya perbedaan kepentingan- kepentingan negara dalam suatu perjanjian internasional sehingga pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara sangat sulit untuk diterima sehingga dapat menimbulkan kesukaran- kesukaran karena uniformitas perjanjian menjadi tidak terjaga karena pensyaratan suatu negara dapat berlainan dengan negara lain, disamping itu integritas perjanjian tidak terjamin lagi dan akan sulit juga untuk diketahui pasal-pasal mana yang berlaku atau tidak berlaku bagi suatu negara.Mendasarkan pada faktor tersebut tentunya akan terjadi  pertentangan antara hukum internasional yang telah diratifikasi kedalam hukum nasional dengan hukum nasional suatu negara, apabila pensyaratan suatu negara terhadap perjanjian internasional tersebut ditolak yang mana hal itu tentunya juga akan merusak kepentingan-kepentingan  negara tersebut.



Salah satu penyebab batalnya suatu perjanjian ialah jika bentuk perjanjian yang salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum nasional.Namun hal tersebut berkontradiksi dengan Konvensi Wina pada pasal 46 yang menjelaskan bahwa “Kenyataan bahwa persetujuan suatu negara untuk diikat suatu perjanjian berlawanan dengan ketentuan hukum tidak boleh dijadikan alasan untuk membebaskan diri dari perjanjian tersebut kecuali pelanggaran itu dilakukan dengan terang-terangan dan mengenai ketentuan pokok dari hukum nasonalnya”.Berkaitan dengan itu, jika terjadi pertentangan peraturan antara perjanjian internasional dengan hukum nasional suatu negara, hukum mana yang harus diutamakan?.Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian internasional telah diratifikasi dengan Undang - undang tentang Pengesahan Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan peraturan perundang - undangan nasional yang mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasikan tersebut.Kemudian menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antara keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara.
3.Perbedaan Reservasi Sistem Suara Bulat dengan Sistem Pan Amerika
Pada masa awal lahirnya pensyaratan sampai tahun ini dikenal dua macam sistem pensyaratan. Dua sistem pensyaratan itu adalah sistem pensyaratan suara bulat dan sistem pensyaratan pan amerika. Sistem persyaratan suara bulat yaitu suatu mekanisme pengajuan pensyaratan oleh suatu negara yang ingin terikat pada suatu perjanjian yang didasarkan atas persetujuan semua negara anggota perjanjian, dengan kata lain apabila ada negara anggota yang menentang pensyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin mengikatkan dirinya pada perjanjian tidak akan diterima sebagai anggota.
 Pada sistem ini semua negara anggota harus menyetujui pensyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin menjadi anggota agar pensyaratan itu memiliki kekuatan mengikat dan berlaku positif,
 kalau tidak berarti negara yang ingin menjadi anggota tadi harus menerima secara keseluruhan ketentuan dalam perjanjian tersebutatau tidak menjadi anggota.Perkembangan yang signifikan atas sistem suara bulat ini terjadi pada masa sebelum perang dunia I dan II, yaitu pada masa itu Liga Bangsa- Bangsa yang paling banyak menggunakan mekanisme ini, dan mengenai sistem suara bulat ini diatur dalam pasal 20 ayat (2) konvensi wina 1969.
Selanjutnya sistem yang kedua yaitu sistem pan amerika, sistem ini dinamakan sistem pan Amerika dikarenakan sistem ini diperkenalkan dan diterapkan pertama kali diBenua Amerika pada organisasi regional pada tahun 1932 dengan nama Organisation of American States. Mekanisme pada sistem ini tidak terlalu rumit menurut penulis untuk penerapannya membuka kesempatan perkembangan yang cepat bagi hukum perjanjian internasional itu sendiri.Singkatnya pada sistem pan amerika apabila negara yang ingin terikat pada perjanjian mengajukan pensyaratan pada ketentuan perjanjian dan pensyaratan ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari negara anggota maka perjanjian ini tetap berlaku secara umum dan pensyaratan hanya berlaku bagi negara yang pro terhadap pensyaratan yang diajukan dan yang kontra tidak berlaku perjanjian tersebut dan akibat hukum bagi negara yang mengajukan pensyaratan dan yang kontra pada pensyaratan tidak berlaku baginya perjanjian tersebut.
Mengenai sistem pan Amerika ini diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 20 ayat 4, 5, pasal 21 ayat 1, 2, 3, dan pasal 22 ayat 1, 2, 3, serta pasal 23 ayat 1, 2, dan 3.Dari uraian kedua sistem persyaratan diatas jelaslah perbedaannya, yang dari terminologi bahasanya sudah bisa menggambarkan perbedaan mendasarnya. Disini juga tampak dengan sangat jelas dari ketentuan yang mengaturnya dimana reservation pan amerika lebih banyak mendapatkan tempat pengaturan didalam konvensi wina 1969 dari pada sistem suara bulat,
hal ini tidak lepas dari dinamika sistem pan amerika yang lebih bervariasi dibandingkan sistem suara bulat.
4.Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional terhadap Negara  Pihak Ketiga
Pengertian secara umum bahwa negara pihak ketiga adalah negara yang tidak turut serta dalam perundingan-perundingan yang melahirkan suatu perjanjian. Pihak ketiga ini secara kontekstual akan berlainan posisinya terhadap perjanjian bilateral dan terhadap perjanjian multilateral. Artinya suatu negara pihak ketiga kemungkinan sama sekali tidak akan berkepentingan untuk turut serta dalam suatu perjanjian bilateral. Akan tetapi tidak demikian halnya terhadap perjanjian multilateral. Setiap negara pihak ketiga pada setiap saat senantiasa terbuka kesempatannya untuk turut serta terhadap perjanjian multilateral, kecuali perjanjian itu menentukan yang lain. Pada dasarnya suatu perjanjian internasional hanya mengikat negara-negara yang membuatnya. Paling tidak itulah makna dari suatu asas dalam Hukum Romawi yang menyebutkan: “pacta tertiis nec nocent nec prosunt”. Maksudnya, bahwa “suatu perjanjian tidak memberi hak maupun kewajiban pada pihak ketiga”
Akan tetapi dalam perkembangannya dijumpai adanya pengecualian sehingga berlakunya asas di atas tidak mutlak lagi. Sebagai contoh umpamanya, dengan berlakunya pasal 2 ayat (6) dari Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, ternyata juga memberikan hak dan kewajiban kepada negara-negara yang bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kenyataan itu menunjukkan bahwa dalam praktik suatu perjanjian yang ditetapkan oleh peserta-peserta yang relatif besar jumlahnya (seperti misalnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa), atau perjanjian tentang suatu objek yang sangat penting (misalnya tentang Terusan Suez dan Terusan Panama) ternyata dapat membawa pengaruh yang amat besar pada negara-negara yang bukan peserta.Namun Konvensi Wina tidak menutup sama sekali kemungkinan diperolehnya hak maupun dibebankannya suatu kewajiban atas negara bukan peserta. Di dalam perjanjian internasional, kaidah-kaidah mengenai hal itu dapat dijumpai dalam pasal-pasal 34, 35, 36, dan pasal 37 Konvensi Wina 1969.
Ada satu ketentuan yang penting dalam kaitan ini adalah bahwa perjanjian internasional tidak menimbulkan kewajiban atau hak bagi pihak ketiga tanpa persetujuan pihak ketiga tersebut.
Persetujuan ini harus diberikan secara tertulis serta kewajiban dan hak pihak ketiga tersebut harus dinyatakan dengan tegas dalam perjanjian itu. Kewajiban pihak ketiga adalah bahwa ia harus bertindak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan perjanjian dan ia akan tetap terikat pada perjanjian tersebut selama ia tidak menyatakan kehendaknya yang berlainan.Negara-negara berkembang, terutama negara-negara yang terletak di kawasan Asia-Afrika berpendapat bahwa persetujuan pihak ketiga yang diberikan secara tegas dan tertulis harus untuk mencegah mengikatnya suatu perjanjian bagi suatu negara lain di luar kehendaknya.
 Penafsiran atas pasal-pasal 35 dan 36 di atas diberikan juga oleh International Law Commission (ILC). Bahwa pasal 35 bermaksud melindungi negara-negara bukan peserta dari kemungkinan pembebanan kewajiban yang sewenang-wenang. Sedangkan pasal 36 ayat (2) bermaksud melindungi para peserta dari kemungkinan bahwa negara-negara bukan peserta dapat melampaui batas hak yang diperolehnya dari para peserta sedemikian rupa, sehingga mengurangi wewenang para peserta sendiri atas perjanjian yang mereka bentuk.
Kaidah-kaidah perjanjian internasional di atas antara lain membuktikan bahwa prinsip umum “pacta tertiis nec nocent nec prosunt” tidak dapat lagi semata-mata ditafsirkan menurut arti yang sesungguhnya seperti ketika zaman Romawi Kuno. Bahkan Starke, di dalam bukunya antara lain, menyebutkan beberapa jenis perjanjian internasional yang dapat mengikat negara-negara bukan peserta atau negara pihak ketiga. Jenis perjanjian internasional tersebut diantaranya yaitu Pertama, “Multilateral treaties declaratory of established customary international law will obviously apply to non-parties, Also treaties, bilateral or otherwise…”(Perjanjian multilateral yang menyatakan berlakunya hukum kebiasaan internasional juga mengikat negara bukan peserta). Akan tetapi terikatnya negara bukan peserta itu bukan oleh perjanjian internasional bersangkutan, melainkan oleh hukum kebiasaan internasional yang telah dituangkan ke dalam perjanjian internasional tersebut. Sebagai contoh ketentuan perjanjian internasional semacam ini antara lain Konvensi Jenewa tahun 1958 mengenai Hukum Laut dan Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang.
Kemudian yang kedua, “Multilateral treaties creating new rules of international law may bind non-parties in the same way as do all rules of international law,… (Perjanjian multilateral yang menciptakan kaidah hukum internasional baru dan diratifikasi oleh semua negara besar, akan mengikat negara bukan peserta sebagaimana hukum internasional mengikatnya).Dengan demikian negara pihak ketiga juga berhak mengajukan pensyaratan jika terdapat ketentuan perjanjian yang tidak sesuai karena perjanjian multiteral tersebut juga berdampak padanya.Adapun sengketa mengenai hal tersebut dapat dicontohkan melalui Kasus Reservation atas Konvensi Genocide Tahun 1951 yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
 1. Pihak-Pihak yang Terlibat:
1)      PBB Sebagai organisasi internasional yang menyelenggarakan konvensi Genoside 1951 Konvensi Mengenai Dan Penghukuman Kejahatan Genoside.
2)      Negara- negara anggota PBB, yang pada tahun 1948 menyepakati secara bulat konvensi tentang Genoside dengan jumlah negara anggota PBB adalah 56 Negara, dan negara ketiga yang ingin ikut terikat yang karena konvensi yang sifatnya universal dan konvensi memberikan kemungkinan itu.
3)      Mahkamah Internasional Pemberi Advisory Opinion yang diwakilkan 12(dua belas) hakim mahkamah internasional.
2.Duduk Perkara
Pada tanggal 9 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah konvensi yaitu Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genoside) berdasarkan Resolusi nomor 206/III/48, dan berlaku pada tanggal 12 Januari 1951,
yang menjadi masalah ternyata didalam konvensi tidak diatur mengenai Reservation(pensyaratan), jadi tidak ada kejelasan apakah negara yang mau terikat pada konvensi Genoside ini diperkenankan untuk mengajukan persyaratan atau tidak sama sekali.Didalam prosesnya konvensi itu untuk mengikat negara-negara, ternyata ada beberapa negara yang mengajukan pensyaratan saat menyatakan persetujuannya untuk terikat dalam konvensi Genoside 1951 ini.
 3.Hasil Penyelesaian Masalah:
Akhirnya Mahkamah Internasional dengan perbandingan suara tujuh orang hakim menyetujui sedangkan lima orang hakim menolak, memberikan Advisory opinionnya atas permohonan yang diajukan oleh PBB, dan menyatakan;
              a.            Bahwa jika ada suatu negara yang mengajukan pensyaratan yang ternyata ditolak oleh satuatau lebih negara peserta dalam konvensi tetapi disetujui atau tidak ditolak oleh negara peserta yang lainnya, negara yang mengajukan pensyaratan itu dapat dipandang menjadi peserta pada konvensi, apabilah pensyaratan itu sesuai dengan atau tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari konvensi, tetapi sebaliknya jika pensyaratan itu bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, maka negara tersebut tidak dapat dipandang peserta pada konvensi..
              b.            Bahwa jika salah satu negara peserta menolak pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara yang dipandangnya bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, negara itu dalam kenyataannya dapat menganggap bahwa negara yang mengajukan pensyaratan tersebut bukan sebagai pihak atau peserta pada konvensi.
Dari Advisory Opinion Mahkamah Internasional tersebut, telah jelas bahwa pendapat Mahkamah Internasional mengandung sistem pan amerika mengenai pensyaratan dalam hubungannya dengan penerimaan dan penolakan terhadap pensyaratan.

BAB IV
PENUTUP

A.Simpulan
·         Reservasi (pensyaratan) merupakan pranata hukum internasional yang sangat relevan dengan kebutuhan negara-negara akan aturan hukum internasional yang mana sumbernya dari perjanjian internasional. Reservasi juga memberikan kepastian akan bisanya dikecualikan beberapa ketentuan yang bertentangan dengan keinginan negara-negara akan aturan internasional,selama itu tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri. Dengan adanya persyaratan, kedaulatan tiap-tiap negara juga terakomodasi dalam perjanjian.
      Setiap negara yang mengadakan suatu perjanjian harus menjunjung tinggi dan menaati ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh salah satu asas yang dipakai dalam perjanjian internasional, yaitu asas pacta sunt servanda yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh masing-masing pihak yang bersangkutan.Pada dasarnya setiap negara dalam suatu perjanjian internasional, berhak untuk mengajukan pensyaratan terhadap materi perjanjian, asalkan pensyaratan tidak dilarang oleh perjanjian, atau pensyaratan tidak bertentangan dengan tujuan dan maksud perjanjian;
              Penolakan atas suatu pensyaratan oleh satu atau beberapa peserta konvensi, tidak secara otomatis mengakibatkan status negara yang mengajukan pensyaratan sebagai pihak peserta perjanjian menjadi hilang, melainkan negara tersebut akan tetap dianggap sebagai pihak peserta oleh yang menerima pensyaratan tersebut. Apabila suatu pensyaratan dianggap "tidak sesuai" dengan tujuan dan maksud perjanjian, maka akan berakibat bahwa pensyaratan itu akan ditolak oleh seluruh peserta konvensi, dengan demikian pihak yang mengajukan pensyaratan tidak dapat menjadi peserta perjanjian dan sebaliknya.
      Prinsip atau doktrin Pan Amerika yang terkandung dalam "Advisory Opinion" Mahkamah Internasional tahun 1951 terhadap masalah pensyaratan pada Genocide Convention1948 telah diikuti atau dianut pula dalam Konvensi Wina 1969, dimana prinsip atau doktrin tersebut memang sesuai dengan perkembangan hubungan internasional yang semakin kompleks.Kemudian kedudukan perjanjian internasional dan hukum nasional suatu negara jika terjadi pertentangan ialah hukum nasional lebih diutamakan sebagimana teori dualisme.
 B.Saran
Sebaiknya jika pemerintah Indonesia ingin meratifikasi suatu perjanjian internasional, pemerintah Indoneisa harus memperhatikan apakah perjanjian internasional tersebut sesuai atau tidak, jika diterapkan kedalam hukum nasional.Kemudian apabila terdapat ketentuan yang tidak sesuai maka pemerintah harus mengajukan pensyaratan akan hal tersebut, jika pensyaratan yang diajukan tidak disetujui maka sebaiknya pemerintah Indonesia tidak meratifikasi perjanjian tersebut karena hal itu tentunya akan merusak kepentingan – kepentingan negara serta sistem hukum Indonesia
·         ·        











DAFTAR PUSTAKA

BUKU:
Amos, Abraham. 2005. Sistem Ketatanegaraan Negaraan Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Azhary, Muhammad Tahir. 2004. Negara Hukum. Prenada Media: Jakarta
Prajogo, Soesilo. 2007. Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, Cetakan pertama:Jakarta
Mauna, Boer.2008. Hukum Internasional.PT.Alumni:Bandung
KONVENSI
Konvensi Wina 1969 Tentang Penjanjian Internasional, Foto Copy Naskah Transletnya ke Bahasa Indonesia
JURNAL
Widagdo, setyo.2009.Akibat Hukum Suatu Pensyaratan dalam Perjanjian Internasional.



Post a Comment for "MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL “Reservation of Multilateral Treaty”"