MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL “Reservation of Multilateral Treaty”
MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL
“Reservation of Multilateral Treaty”
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang
Puji dan syukur
penulis panjatkan keadirat Tuhan yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nyalah, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Hukum Internasional
Tentang Reservation of Multilateral Treaty. Penulisan makalah ini untuk
memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengajar mata kuliah Hukum
Internasional.
Makalah ini ditulis
berdasarkan beberapa referensi buku dan internet sehingga diharapkan dapat
mewakili seluruh sumber yang telah dikutip agar makalah ini tidak kehilangan
kekiniannya.
Penulis berharap
dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua yang mana dapat
menambah wawasan kita, khususnya bagi pembaca. Makalah ini mungkin masih jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari dosen pengajar mata kuliah Hukum
Internasioanl dan para pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Walaikumsalam,wr.wb
Balininjuk, 5
Oktober 2017
Penulis
Kelompok 7
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................ ii
Daftra Isi................................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan.................................................................................................. 1
A.
Latar Belakang................................................................................................ 1
B.
Fokus Masalah................................................................................................. 2
C.
Tujuan
Penulisan............................................................................................. 2
Bab II
Permasalahan............................................................................................... 3
A. Rumusan Masalah........................................................................................... 3
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi............................................................... 3
Bab III
Pembahasan................................................................................................ 5
A.
Landasan Teori................................................................................................. 5
B.
Pokok Pembahasan........................................................................................... 7
1. Pengaruh
Kedaulatan Negara dalam Menekan
Lahirnya
Sebuah Pensyaratan.................................................................................... 7
2. Kedudukan Perjanjian Internasional
dalam Hukum
Nasional Indonesia...................................................................................... 9
3. Perbedaan Reservasi Sistem Suara Bulat
dengan Sistem
Pan Amerika................................................................................................ 11
4. Kekuatan Mengikat Perjanjian
Internasional Terhadap
Negara Pihak Ke-3...................................................................................... 13
Bab IV Penutup....................................................................................................... 17
A. Simpulan............................................................................................................ 17
B. Saran.................................................................................................................. 18
Daftar Pustaka......................................................................................................... 19
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan dalam masyarakat
internasional senantiasa bertumpu pada suatu tatanan norma. Pada kodratnya
masyarakat internasional itu saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dalam melakukan hubungan ini satu sama lain diperlukan suatu kondisi,
yaitu keadaan yang tertib dan aman, untuk berlangsungnya keadaan yang tertib
dan aman ini diperlukan suatu tatanan norma. Dalam sejarah tatanan norma
tersebut telah berproses dan berkembang menjadi apa yang dikenal dengan Hukum
Internasional. Sebagai suatu sistem hukum, hukum internasional mempunyai beberapa
sumber hukum, seperti
yang dinyatakan dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional yang salah satunya diantaranya ialah perjanjian-perjanjian
Internasional.
Dalam Konferensi Wina tahun 1969
yang diadakan atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berhasil
disepakati sebuah naskah perjanjian yang lebih dikenal dengan nama Viena Convention on the Law of Treaties
atau Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969.Penjanjian (treaty) baik bilateral maupun multilateral merupakan suatu bentuk
kodifikasi hukum kebiasaan kedalam hukum positif internasional. Proses
kodifikasi biasanya dilakukan dalam konvensi-konvensi internasional. Didalam
konvensi biasanya dilakukan perumusan, perundingan, singkatnya sampai
pelaksanaan isi perjanjian, baik dengan cara ratifikasi bagi negara yang mau
terikat hak dan kewajibannya terhadap perjanjian. Seyogyanya isi perjanjian
dilaksanakan secara penuh agar tercapai kesempurnaan perjanjian itu sendiri,
namun hal ini tentunya sulit dicapai ketika melibatkan kepentingan setiap
negara yang ikut dalam konvensi terutama yang bersifat multilateral. Kepentingan negara- negara yang
berbeda inilah yang biasanya membuat suatu permasalahan pada saat perumusan dan
perundingan suatu substansi perjanjian. Keadaan dilema bagi negara peserta
konvensi dipertaruhkan ketika isi perjanjian itulebih banyak menguntungkan
negaranya, tetapi ada beberapa bagian dari peranjian yang memang tidak
menguntugkan bagi negara tersebut
ataupun bertentangan dengan
konstitusi negaranya. Untuk menghindarkan negara mundur untuk tidak
meratifikasi dan/atau mengaksesi perjanjian maka suatu perjanjian dibuatkan
suatu pengecualian dalam bentuk resevarsi atau pensyaratan yang berarti suatu pernyataan
sepihak dari suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu
pada perjanjian internasional dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani,
menerima, menyetujui atau mengesahkannya.
Pensyaratan tersebut mencerminkan asas kedaulatan suatu
negara, dimana suatu negara memiliki hak untuk menolak ketentuan-ketentuan
tertentu dalam perjanjian internasional yang bertentangan dengan hukum nasional
negara tersebut.Kemudian permasalahan selanjutnya ialah hal itu juga berlaku bagi negara
ketiga yang ingin ikut serta dalam perjanjian tetapi tidak secara penuh
menerima semua ketentuan dalam perjanjian.
B.Fokus Masalah
Makalah ini hanya
membahas mengenai pensyaratan dalam perjanjian multilateral serta kedudukan
perjanjian internasional ketika bertentangan dengan hukum nasional suatu
negara.
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kedaulatan negara
dalam menekan lahirnya sebuah pensyaratan.
2. Untuk
menguji kedudukan perjanjian Internasional dalam sistem perundang- undangan nasional jika terjadi pertentangan.
3. Untuk dapat mengetahui seberapa
besar pengaruh reservasi dalam pembuatan
hukum perjanjian Internasional.
4. Untuk mengetahui perbedaan reservasi
sistem Suara Bulat
dengan sistem Pan Amerika.
5. Untuk mengetahui seberapa besar
kekuatan mengikat hukum Internasional terhadap negara pihak ketiga.
BAB II
PERMASALAHAN
A.Ruang Lingkup Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
tersebut, rumusan masalah dalam makalah ini ialah:
1. Bagaimana
pengaruh kedaulatan negara dalam menekan lahirnya sebuah pensyaratan?
2. Bagaimana kedudukan perjanjian
Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia?
3.
Apakah perbedaan reservasi sistem Suara Bulat dengan sistem Pan
Amerika?
4.
Bagaimana kekuatan mengikat perjanjian
Internasional terhadap negara pihak ketiga?
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
a. Faktor Kelebihan
1.
Adanya prinsip “res
inter alios acta” yaitu perjanjian internasional hanya mengikat pihak-pihak
yang berjanji saja.
2.
Perjanjian multilateral dapat mempunyai akibat pada
negara ketiga tanpa persetujuan negara-negara ketiga. Sebagaimana pasal 2 ayat (6)
Piagam PBB yang berbunyi organisasi ini menjamin agar negara-negara bukan
anggota perserikatan bangsa-bangsa bertindak dengan prinsip-prinsip ini apabila
dianggap perlu demi perdamaian dan keamanan internasional.
b. Faktor Kelemahan
1.
Adanya prinsip “ pacta teriis nec nocent nec prosunt” yaitu perjanjian internasional
tidak menimbulkan hak ataupun kewajiban bagi negara ketiga.
2.
Banyaknya perbedaan kepentingan-
kepentingan negara dalam suatu perjanjian internasional sehingga pensyaratan
yang diajukan oleh suatu negara sangat sulit untuk diterima.
3.
Sistem pensyaratan dapat menimbulkan
kesukaran- kesukaran karena uniformitas perjanjian menjadi tidak terjaga karena
pensyaratan suatu negara dapat berlainan dengan negara lain, disamping itu
integritas perjanjian tidak terjamin lagi dan akan sulit juga untuk diketahui
pasal-pasal mana yang berlaku atau tidak berlaku bagi suatu negara.
c. Faktor Peluang
1.
Negara yang menyatakan keberatannya
terhadap pensyaratan yang diajukan oleh negara lain, dapat menganggap dirinya
tidak terikat dalam perjanjian dengan negara tersebut.
2.
Negara mempunyai hak menolak ratifikasi
yang mana hal itu tidak mempunyai dampak dari segi hukum.
3.
Salah satu sebab batalnya suatu
perjanjian ialah jika bentuk perjanjian yang salah atau bertentangan dengan
hukum nasional.
d. Faktor Ancaman
1.
Adanya prinsip “pacta
sunt servanda” yaitu tiap-tiap perjanjian berlaku mengikat
negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
2.
Sehubungan dengan point pertama maka tentunya akan terjadi pertentangan antara hukum internasional yang
telah diratifikasi kedalam hukum nasional dengan hukum nasional suatu negara,
apabila pensyaratan suatu negara terhadap perjanjian internasional tersebut
ditolak yang mana hal itu tentunya juga akan merusak kepentingan-kepentingan negara tersebut.
3.
Penolakan ratifikasi dapat mempengaruhi
perpolitikan luar negeri termasuk menghambat berkembangnya suatu perjanjian internasional menjadi
kaidah hukum positif yang secara tidak langsung akan menghambat lahirnya sarana
untuk mengatur kehidupan masyarakat internasional.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.Landasan Teori
Dalam era globalisasi, interdependensi,
saling ketergantungan negara dan saling keterkaitan isu-isu baik regional
maupun global, tidaklah dapat dihindarkan bertambah banyaknya perjanjian
internasional yang harus dibuat untuk mengatur interaksi dan kerja sama negara
di berbagai bidang demi terciptanya kehidupan masyarakat dunia yang aman dan
harmonis.Menurut
Konvensi wina pada pasal 2 Tahun 1969, Perjanjian Internasional (treaty) ialah“Suatu
persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh
hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih
instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.”Sementara itu perjanjian multilaretal itu sendiri ialah perjanjian yang apabila
pihaknya lebih dari dua negara atau hampir seluruh negara di dunia dan tidak
terikat dalam satu kawasan tertentu.
Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional,
ketentuan mengenai pensyaratan ini secara terperinci diatur dalam pasal 19
sarnpai dengan pasal 23. Dimana masing-masing pasal mengatur masalah penyusunan
suatu pensyaratan (pasal 19), penerimaan dan penolakannya (pasal 20), akibat
hukum dari penerimaan dan penolakan pensyaratan (pasal 21), pembatalan atau
penarikan kembali suatu pensyaratan (pasal 22) dan prosedur mengenai
pensyaratan (pasal 23). Pasal-pasal tersebut pada pokoknya
menentukan bahwa larangan atau pembatasan terhadap pensyaratan,
atau perumusan syarat-syarat khusus untuk mengatur penerimaannya, harus diatur
oleh ketentuan-ketentuan yang dimuatkan di dalam perjanjian yang bersangkutan.Berkaitan
dengan itu, adapun pengertian reservasi(
pensyaratan) adalah suatu pernyataan sepihak yang dibuat oleh suatu negara pada
waktu menandatangani, menerima, meratifikasi, mengesahkan atau mengaksesi
perjanjian yang isi pokoknya adalah untuk mengeluarkan atau untuk mengubah
akibat hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam pemberlakuannya terhadap negara
tersebut.
Kemudian terdapat suatu pengecualian
ketika suatu negara mengajukan pensyaratan terhadap perjanjian yaitu
pensyaratan dilarang oleh perjanjian dan pensyaratan tersebut tidak sesuai
dengan maksud dan tujuan perjanjian.Namun bila pensyaratan ini dimungkinkan,
sistem ini dapat pula menimbulkan kesukaran- kesukaran karena uniformitas
perjanjian menjadi tidak terjaga yang mana pensyaratan suatu negara dapat
berlainan dengan negara lain, disamping itu integritas perjanjian tidak terjamin
lagi dan akan sulit juga untuk diketahui pasal-pasal mana yang berlaku atau
tidak berlaku bagi suatu negara.Walaupun sistem tersebut menimbulkan
kesulitan-kesulitan namun praktek internasional memberikan kebebasan untuk
melakukan pensyaratan .Mahkamah Internasional dalam pendapatnya yang
dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 1951 mengakui praktek pensyaratan dengan
memberikan pembatasan rangkap:
1.
Pensyaratan tidak boleh bertentangan
dengan maksud dan tujuan perjanjian.
2.
Negara yang menyatakan keberatannya
terhadap pensyaratan yang diajukan oleh negara lain, dapat menganggap dirinya
tidak terikat dalam perjanjian dengan negara tersebut.
Kemudian akibat hukum bagi negara pihak
perjanjian termuat didalam pasal 26 Konvensi Wina 1969, yang menyatakan bahwa
“Tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus
dilaksanakan dengan itikad baik atau in
good faith”.Beranjak dari itu, walaupun negara telah menandatangani suatu
perjanjian namun negara tersebut secara hukum tidak dapat diwajibkan umtuk
meratifikasikan perjanjian tersebut.Didalam hukum internasional juga terdapat
prinsip pacta tertiis nex nocent nec
prosunt yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan
kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara ketiga.Akan tetapi jika
dikaitkan dengan perjanjian multilateral hal tersebut berkontradiksi karena
pada prinsipnya perjanjian tersebut berlaku universal termasuk bagi
negara-negara pihak ketiga yang mana hal ini sejalan dengan pasal 2 ayat (6) Piagam PBB yang
berbunyi “organisasi ini menjamin agar negara-negara bukan anggota perserikatan
bangsa-bangsa bertindak dengan prinsip-prinsip ini apabila dianggap perlu demi
perdamaian dan keamanan internasional”.
B.Pokok Pembahasan
1.Pengaruh
Kedaulatan Negara dalam Menekan
Lahirnya Sebuah Pensyaratan.
Perjanjian merupakan manifestasi
dari keinginan negara- negara atas sebuah aturan internasional yang
penerapannya tidak bertentangan dengan konstitusinya dan tentunya tidak
mencederai kedaulatan masing- masing negara. Kedaulatan merupakan salah satu
unsur pembentuk negara sehingga aturan hukum internasional diusahakan serelevan
mungkin dengan aturan hukum umum pada setiap negara didunia. Kedaulatan menurut
kamus hukum internasional dan Indonesia oleh Drs. Soesilo Prajogo,S.H. yang
diterbitkan Wacana Intelektual berarti “Kekuasaan tertinggi atas pemerintahan
negara dan daerahkedaulatan suatu negara”, dengan mengacu pada definisi diatas
maka suatu problem akan muncul ketika negara- negara ikut dalam suatu konvensi
internasional, dimana disetiap negara pasti mempunyai perbedaan konstitusi.
Kesadaran bahwa dalam sistem dan
struktur masyarakat internasional, negara-negara sebagai subjek utama hukum
internasional memiliki kedaulatan, dan dengan dasar kedaulatan itu maka negara
tidak bisa dipaksa untuk menerima atau menyetujui sesuatu yang tidak sesuai
dengan kepentingannya. Dalam hubungannya dengan suatu perjanjian internasional,
atas dasar kedaulatan itu maka suatu negara berhak penuh untuk menentukan
apakah akan menyatakan setuju terikat ataukah menolak terikat pada suatu
perjanjian internasional. Problematisnya adalah ketika didalam perjanjian itu
ada beberapa ketentuan yang merugikan dan ada juga yang menguntungkan bagi
negara, pilihannya adalah menyetujui untuk terikat atau tidak sama sekali.
Pilihan manapun yang ditempuh akan
menimbulkan masalah lanjutan baik bagi negara itu maupun bagi perjanjian itu
sendiri, bahkan dalam ruang lingkup yang lebih luas akan menimbulkan dampak
tehadap masyarakat internasional pada umumnya, lebih- lebih jika perjanjian itu
merupakan perjanjian internasional multilateral global. Masalah yang timbul
bagi negara adalah jika tidak mau terikat pada perjanjian padahal sebagian
besar dari ketentuan perjanjian itu menguntungkan baginya, sebaliknya jika
memaksakan terikat pada perjanjian padahal ada beberapa ketentuan yang
merugikan bagi negaranya, hal ini menempatkan negara pada pilihan yang
sulit.Selanjutnya bagi perjanjian itu sendiri, hal ini akan menghambat bagi perkembangan
hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah perjanjian
internasional bila makin sedikit negara yang menyatakan setuju untuk terikat
pada perjanjian tersebut. Hal ini juga akan menghambat konsep ideal dari
perjanjian itu pada tatanan pelaksanaannya yang riil.
Bagi masyarakat internasional secara
umum, terhambatnya suatu perjanjian internasional berkembang menjadi kaidah
hukum positif berarti akan menghambat lahirnya sarana untuk mengatur kehidupan
masyarakat internasional. Dengan dua pilihan diatas tentunya akan sulit
dipenuhi oleh negara- negara yang ikut dalam perjanjian untuk terikat karena
sifatnya yang terlalu ekstrim.Untuk mengakomodasi kepentingan tiap-tiap negara
tanpa mengesampingkan kedaulatan disatu sisi yang berseberangan dengan
ketentuan dalam perjanjian, kemudian diperkenalkan pranata hukum internasional
yang disebut reservasi (pensyaratan) untuk menjembatani kedaulatan negara-negara dalam
keterikatannya pada perjanjian internasional dengan perjanjian itu sendiri. Hal
ini membuat terang bahwa pensyaratan (reservasi) lahir dari sebuah jurang
antara kedaulatan dan ketentuan pada suatu perjanjian.
Mengenai pensyaratan instrumen
positifnya diatur dalam konvensi wina 1969 pada Pasal 2 ayat (1) point (d) mengenai definisi dari
persyaratan dan diatur pula dalam lima pasal yaitu Pasal 19 (mengenai ketentuan
pengajuan suatu pensyaratan
sampai pembatasannya pada perjanjian internasional), Pasal 20 (mengenai diterima atau
ditolaknya pensyaratan yang diajukan suatu negara oleh negara peserta lainnya),
Pasal 21(diatur mengenai akibat hukum dari pensyaratan), Pasal 22 (
diatur mengenai penarikan kembali suatu pensyaratan atau sebuah penolakan) dan
Pasal 23 (diatur mengenai prosedur pensyaratan secara menyeluruh). Dengan adanya
aturan yang jelas mengenai pensyaratan akan memudahkan bagi negara peserta
konvensi atau negara ketiga apabila ingin ikut terikat pada perjanjian dengan
mengecualikan beberapa ketentuan yang diperbolehkan oleh perjanjian itu
sendiri.
Secara umum perjanjian internasional
yang didalamnya diikuti oleh negara sebagai peserta berkiblat (atau instrumen
hukumnya) pada ketentuan konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Ketentuan dalam
konvensi wina tegasnya terdapat 8 (delapan) bagian yang terdiri dari 85 pasal,
yang diharapkan dapat mengakomodasi ketentuan hukum internasional bagi suatu
perjanjian.
2.Kedudukan Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional
Indonesia
Sebagai negara merdeka yang berdaulat, Indonesia telah aktif
berperan dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan
perjanjian-perjanjian Internasional dengan negara-negara lain, baik yang
bersifat bilateral maupun multilateral.Dasar kewenangan presiden dalam
pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang dasar
1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut:
1) Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian,
dan perjanjian dengan Negara lain.
2) Presiden dalam membuat perjanjian
Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Ketentuan lebih lanjut tentang
perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
tersebut, telah diterbitkan surat Presiden Nomor 2826/Hk tentang Pengesahan
Perjanjian Internasional.Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan
jenis peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang
peraturan perundang-undangan, meskipun tidak masuk sebagai jenis peraturan
Perundang-undangan, namun perjanjian internasional juga diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
lainnya (pasal 7 ayat 4 undang-undang nomor 24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional).Berdasarkan
sistem Hukum Nasional, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik bilateral
maupun multilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan
- ketentuan dalam konvensi atau perjanjian tersebut. Suatu konvensi atau
perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan
apabila telah dimasukkan kedalam suatu undang – undang(hukum
nasional).
Ratifikasi suatu perjanjian
internasional adalah suatu tahap yang paling penting dalam treaty making procces karena pada tahap itulah negara memberikan
persetujuannya untuk diikat secara definitif yang mana juga berarti menyerahkan
sedikit kedaulatan negara kepada suatu perjanjian internasional.Karena
perjanjian internasional itu diwujudkan untuk berlaku secara umum , tentu saja
tidak dapat menampung aspirasi dan kepentingan semua negara.Untuk itu
negara-negara pihak harus mengambil langkah yang salah satunya ialah
menghapuskan ketentuan yang tidak sesuai agar dapat melaksanakan dengan baik
suatu konvensi yang telah diterima yakni dengan cara mengajukan pensyaratan
sebelum meratifikasikan suatu konvensi/perjanjian internasional.
Beranjak dari itu, langkah pensyaratan
tersebut tidak bisa menjamin bahwa perjanjian internasional yang telah
diratifikasikan tersebut mampu dilaksanakan dengan baik karena adannya faktor
kelemahan dari sistem pensyaratan tersebut
yakni banyaknya perbedaan kepentingan- kepentingan negara dalam suatu
perjanjian internasional sehingga pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara
sangat sulit untuk diterima sehingga dapat menimbulkan kesukaran- kesukaran
karena uniformitas perjanjian menjadi tidak terjaga karena pensyaratan suatu
negara dapat berlainan dengan negara lain, disamping itu integritas perjanjian
tidak terjamin lagi dan akan sulit juga untuk diketahui pasal-pasal mana yang
berlaku atau tidak berlaku bagi suatu negara.Mendasarkan pada faktor tersebut tentunya
akan terjadi pertentangan antara hukum
internasional yang telah diratifikasi kedalam hukum nasional dengan hukum
nasional suatu negara, apabila pensyaratan suatu negara terhadap perjanjian
internasional tersebut ditolak yang mana hal itu tentunya juga akan merusak
kepentingan-kepentingan negara tersebut.
Salah satu penyebab batalnya suatu
perjanjian ialah jika bentuk perjanjian yang salah atau bertentangan dengan
ketentuan hukum nasional.Namun hal tersebut berkontradiksi dengan Konvensi Wina
pada pasal 46 yang menjelaskan bahwa “Kenyataan bahwa persetujuan suatu negara untuk
diikat suatu perjanjian berlawanan dengan ketentuan hukum tidak boleh dijadikan
alasan untuk membebaskan diri dari perjanjian tersebut kecuali pelanggaran itu
dilakukan dengan terang-terangan dan mengenai ketentuan pokok dari hukum
nasonalnya”.Berkaitan dengan itu, jika terjadi pertentangan peraturan antara
perjanjian internasional dengan hukum nasional suatu negara, hukum mana yang
harus diutamakan?.Dalam
sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian internasional telah
diratifikasi dengan Undang - undang tentang Pengesahan Ratifikasi, tetapi
perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan
peraturan perundang - undangan nasional yang mengatur tentang materi yang sama
dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasikan tersebut.Kemudian menurut
teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem
hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan
superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan
hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan
antara keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara.
3.Perbedaan Reservasi Sistem Suara Bulat dengan Sistem Pan
Amerika
Pada masa awal lahirnya pensyaratan
sampai tahun ini dikenal dua macam sistem pensyaratan. Dua sistem pensyaratan
itu adalah sistem pensyaratan suara bulat dan sistem pensyaratan pan amerika.
Sistem persyaratan suara bulat yaitu suatu mekanisme pengajuan pensyaratan oleh
suatu negara yang ingin terikat pada suatu perjanjian yang didasarkan atas
persetujuan semua negara anggota perjanjian, dengan kata lain apabila ada
negara anggota yang menentang pensyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin
mengikatkan dirinya pada perjanjian tidak akan diterima sebagai anggota.
Pada sistem ini semua negara anggota harus
menyetujui pensyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin menjadi anggota agar
pensyaratan itu memiliki kekuatan mengikat dan berlaku positif,
kalau tidak berarti negara yang ingin menjadi
anggota tadi harus menerima secara keseluruhan ketentuan dalam perjanjian
tersebutatau tidak menjadi anggota.Perkembangan yang signifikan atas sistem
suara bulat ini terjadi pada masa sebelum perang dunia I dan II, yaitu pada
masa itu Liga Bangsa- Bangsa yang paling banyak menggunakan mekanisme ini, dan
mengenai sistem suara bulat ini diatur dalam pasal 20 ayat (2) konvensi wina 1969.
Selanjutnya sistem yang kedua yaitu
sistem pan amerika, sistem ini dinamakan sistem pan Amerika dikarenakan sistem
ini diperkenalkan dan diterapkan pertama kali diBenua Amerika pada organisasi
regional pada tahun 1932 dengan nama Organisation
of American States. Mekanisme pada sistem ini tidak terlalu rumit menurut
penulis untuk penerapannya membuka kesempatan perkembangan yang cepat bagi
hukum perjanjian internasional itu sendiri.Singkatnya pada sistem pan amerika
apabila negara yang ingin terikat pada perjanjian mengajukan pensyaratan pada
ketentuan perjanjian dan pensyaratan ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari
negara anggota maka perjanjian ini tetap berlaku secara umum dan pensyaratan
hanya berlaku bagi negara yang pro terhadap pensyaratan yang diajukan dan yang
kontra tidak berlaku perjanjian tersebut dan akibat hukum bagi negara yang
mengajukan pensyaratan dan yang kontra pada pensyaratan tidak berlaku baginya
perjanjian tersebut.
Mengenai sistem pan Amerika ini
diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 20 ayat 4, 5, pasal 21 ayat 1, 2, 3,
dan pasal 22 ayat 1, 2, 3, serta pasal 23 ayat 1, 2, dan 3.Dari uraian kedua
sistem persyaratan diatas jelaslah perbedaannya, yang dari terminologi
bahasanya sudah bisa menggambarkan perbedaan mendasarnya. Disini juga tampak
dengan sangat jelas dari ketentuan yang mengaturnya dimana reservation pan amerika lebih banyak mendapatkan tempat pengaturan
didalam konvensi wina 1969 dari pada sistem suara bulat,
hal ini tidak lepas dari dinamika sistem
pan amerika yang lebih bervariasi dibandingkan sistem suara bulat.
4.Kekuatan Mengikat Perjanjian
Internasional terhadap Negara Pihak
Ketiga
Pengertian secara umum bahwa negara
pihak ketiga adalah negara yang tidak turut serta dalam perundingan-perundingan
yang melahirkan suatu perjanjian. Pihak ketiga ini secara kontekstual akan
berlainan posisinya terhadap perjanjian bilateral dan terhadap perjanjian
multilateral. Artinya suatu negara pihak ketiga kemungkinan sama sekali tidak
akan berkepentingan untuk turut serta dalam suatu perjanjian bilateral. Akan
tetapi tidak demikian halnya terhadap perjanjian multilateral. Setiap negara
pihak ketiga pada setiap saat senantiasa terbuka kesempatannya untuk turut
serta terhadap perjanjian multilateral, kecuali perjanjian itu menentukan yang
lain. Pada dasarnya suatu perjanjian internasional hanya mengikat negara-negara
yang membuatnya. Paling tidak itulah makna dari suatu asas dalam Hukum Romawi
yang menyebutkan: “pacta tertiis nec nocent nec prosunt”. Maksudnya, bahwa
“suatu perjanjian tidak memberi hak maupun kewajiban pada pihak ketiga”
Akan tetapi dalam perkembangannya
dijumpai adanya pengecualian sehingga berlakunya asas di atas tidak mutlak
lagi. Sebagai contoh umpamanya, dengan berlakunya pasal 2 ayat (6) dari Piagam
Perserikatan Bangsa- Bangsa, ternyata juga memberikan hak dan kewajiban kepada
negara-negara yang bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kenyataan itu
menunjukkan bahwa dalam praktik suatu perjanjian yang ditetapkan oleh
peserta-peserta yang relatif besar jumlahnya (seperti misalnya Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa), atau perjanjian tentang suatu objek yang sangat
penting (misalnya tentang Terusan Suez dan Terusan Panama) ternyata dapat
membawa pengaruh yang amat besar pada negara-negara yang bukan peserta.Namun
Konvensi Wina tidak menutup sama sekali kemungkinan diperolehnya hak maupun
dibebankannya suatu kewajiban atas negara bukan peserta. Di dalam perjanjian
internasional, kaidah-kaidah mengenai hal itu dapat dijumpai dalam pasal-pasal
34, 35, 36, dan pasal 37 Konvensi Wina 1969.
Ada satu ketentuan yang penting
dalam kaitan ini adalah bahwa perjanjian internasional tidak menimbulkan
kewajiban atau hak bagi pihak ketiga tanpa persetujuan pihak ketiga tersebut.
Persetujuan ini harus diberikan
secara tertulis serta kewajiban dan hak pihak ketiga tersebut harus dinyatakan
dengan tegas dalam perjanjian itu. Kewajiban pihak ketiga adalah bahwa ia harus
bertindak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan perjanjian dan ia akan
tetap terikat pada perjanjian tersebut selama ia tidak menyatakan kehendaknya
yang berlainan.Negara-negara berkembang, terutama negara-negara yang terletak
di kawasan Asia-Afrika berpendapat bahwa persetujuan pihak ketiga yang
diberikan secara tegas dan tertulis harus untuk mencegah mengikatnya suatu
perjanjian bagi suatu negara lain di luar kehendaknya.
Penafsiran atas pasal-pasal 35 dan 36 di atas
diberikan juga oleh International Law Commission (ILC). Bahwa pasal 35
bermaksud melindungi negara-negara bukan peserta dari kemungkinan pembebanan
kewajiban yang sewenang-wenang. Sedangkan pasal 36 ayat (2) bermaksud
melindungi para peserta dari kemungkinan bahwa negara-negara bukan peserta
dapat melampaui batas hak yang diperolehnya dari para peserta sedemikian rupa,
sehingga mengurangi wewenang para peserta sendiri atas perjanjian yang mereka
bentuk.
Kaidah-kaidah perjanjian
internasional di atas antara lain membuktikan bahwa prinsip umum “pacta tertiis
nec nocent nec prosunt” tidak dapat lagi semata-mata ditafsirkan menurut arti
yang sesungguhnya seperti ketika zaman Romawi Kuno. Bahkan Starke, di dalam
bukunya antara lain, menyebutkan beberapa jenis perjanjian internasional yang
dapat mengikat negara-negara bukan peserta atau negara pihak ketiga. Jenis
perjanjian internasional tersebut diantaranya yaitu Pertama, “Multilateral treaties declaratory of
established customary international law will obviously apply to non-parties,
Also treaties, bilateral or otherwise…”(Perjanjian multilateral yang
menyatakan berlakunya hukum kebiasaan internasional juga mengikat negara bukan
peserta). Akan tetapi terikatnya negara bukan peserta itu bukan oleh perjanjian
internasional bersangkutan, melainkan oleh hukum kebiasaan internasional yang
telah dituangkan ke dalam perjanjian internasional tersebut. Sebagai contoh
ketentuan perjanjian internasional semacam ini antara lain Konvensi Jenewa
tahun 1958 mengenai Hukum Laut dan Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai
Perlindungan Korban Perang.
Kemudian yang kedua, “Multilateral treaties creating new rules of
international law may bind non-parties in the same way as do all rules of
international law,…” (Perjanjian multilateral yang
menciptakan kaidah hukum internasional baru dan diratifikasi oleh semua negara
besar, akan mengikat negara bukan peserta sebagaimana hukum internasional
mengikatnya).Dengan demikian negara pihak ketiga juga berhak mengajukan
pensyaratan jika terdapat ketentuan perjanjian yang tidak sesuai karena
perjanjian multiteral tersebut juga berdampak padanya.Adapun sengketa
mengenai hal tersebut dapat dicontohkan melalui Kasus Reservation atas Konvensi Genocide Tahun 1951 yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Pihak-Pihak yang Terlibat:
1) PBB Sebagai organisasi internasional
yang menyelenggarakan konvensi Genoside 1951 “Konvensi Mengenai Dan Penghukuman Kejahatan Genoside”.
2) Negara- negara anggota PBB, yang
pada tahun 1948 menyepakati secara bulat konvensi tentang Genoside dengan
jumlah negara anggota PBB adalah 56 Negara, dan negara ketiga yang ingin ikut
terikat yang karena konvensi yang sifatnya universal dan konvensi memberikan
kemungkinan itu.
3) Mahkamah Internasional Pemberi Advisory Opinion yang diwakilkan 12(dua
belas) hakim mahkamah internasional.
2.Duduk Perkara
Pada tanggal 9 Desember 1948,
Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah konvensi yaitu Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Konvensi
tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genoside) berdasarkan
Resolusi nomor 206/III/48, dan berlaku pada tanggal 12 Januari 1951,
yang menjadi masalah ternyata
didalam konvensi tidak diatur mengenai Reservation(pensyaratan), jadi tidak ada
kejelasan apakah negara yang mau terikat pada konvensi Genoside ini diperkenankan
untuk mengajukan persyaratan atau tidak sama sekali.Didalam prosesnya konvensi
itu untuk mengikat negara-negara, ternyata ada beberapa negara yang mengajukan
pensyaratan saat menyatakan persetujuannya untuk terikat dalam konvensi
Genoside 1951 ini.
3.Hasil Penyelesaian Masalah:
Akhirnya Mahkamah Internasional
dengan perbandingan suara tujuh orang hakim menyetujui sedangkan lima orang
hakim menolak, memberikan Advisory opinionnya atas permohonan yang diajukan
oleh PBB, dan menyatakan;
a.
Bahwa
jika ada suatu negara yang mengajukan pensyaratan yang ternyata ditolak oleh
satuatau lebih negara peserta dalam konvensi tetapi disetujui atau tidak
ditolak oleh negara peserta yang lainnya, negara yang mengajukan pensyaratan itu dapat dipandang menjadi
peserta pada konvensi, apabilah pensyaratan itu sesuai dengan atau tidak
bertentangan dengan maksud dan tujuan dari konvensi, tetapi sebaliknya jika pensyaratan
itu bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, maka negara tersebut tidak
dapat dipandang peserta pada konvensi..
b.
Bahwa
jika salah satu negara peserta menolak pensyaratan yang diajukan oleh suatu
negara yang dipandangnya bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, negara
itu dalam kenyataannya dapat menganggap bahwa negara yang mengajukan pensyaratan
tersebut bukan sebagai pihak atau peserta pada konvensi.
Dari Advisory Opinion Mahkamah Internasional
tersebut, telah jelas bahwa pendapat Mahkamah Internasional mengandung sistem
pan amerika mengenai pensyaratan dalam hubungannya dengan penerimaan dan penolakan
terhadap pensyaratan.
BAB IV
PENUTUP
A.Simpulan
·
Reservasi (pensyaratan) merupakan
pranata hukum internasional yang sangat relevan dengan kebutuhan negara-negara
akan aturan hukum internasional yang mana sumbernya dari perjanjian
internasional. Reservasi juga memberikan kepastian akan bisanya dikecualikan
beberapa ketentuan yang bertentangan dengan keinginan negara-negara akan aturan
internasional,selama itu tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari
perjanjian itu sendiri. Dengan adanya persyaratan, kedaulatan tiap-tiap negara
juga terakomodasi dalam perjanjian.
Setiap
negara yang mengadakan suatu perjanjian harus menjunjung tinggi dan menaati
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh salah
satu asas yang dipakai dalam perjanjian internasional, yaitu asas pacta sunt servanda yang menyatakan
bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh masing-masing
pihak yang bersangkutan.Pada dasarnya setiap negara dalam suatu perjanjian
internasional, berhak untuk mengajukan pensyaratan terhadap materi perjanjian,
asalkan pensyaratan tidak dilarang oleh perjanjian, atau pensyaratan tidak
bertentangan dengan tujuan dan maksud perjanjian;
Penolakan atas suatu pensyaratan oleh
satu atau beberapa peserta konvensi, tidak secara otomatis mengakibatkan status
negara yang mengajukan pensyaratan sebagai pihak peserta perjanjian menjadi
hilang, melainkan negara tersebut akan tetap dianggap sebagai pihak peserta
oleh yang menerima pensyaratan tersebut. Apabila suatu pensyaratan dianggap
"tidak sesuai" dengan tujuan dan maksud perjanjian, maka akan
berakibat bahwa pensyaratan itu akan ditolak oleh seluruh peserta konvensi,
dengan demikian pihak yang mengajukan pensyaratan tidak dapat menjadi peserta
perjanjian dan sebaliknya.
Prinsip atau doktrin Pan Amerika yang terkandung dalam
"Advisory Opinion" Mahkamah Internasional tahun 1951 terhadap masalah
pensyaratan pada Genocide Convention1948 telah diikuti atau dianut pula dalam
Konvensi Wina 1969, dimana prinsip atau doktrin tersebut memang sesuai dengan
perkembangan hubungan internasional yang semakin kompleks.Kemudian
kedudukan perjanjian internasional dan hukum nasional suatu negara jika terjadi
pertentangan ialah hukum nasional lebih diutamakan sebagimana teori dualisme.
B.Saran
Sebaiknya jika
pemerintah Indonesia ingin meratifikasi suatu perjanjian internasional,
pemerintah Indoneisa harus memperhatikan apakah perjanjian internasional
tersebut sesuai atau tidak, jika diterapkan kedalam hukum nasional.Kemudian
apabila terdapat ketentuan yang tidak sesuai maka pemerintah harus mengajukan
pensyaratan akan hal tersebut, jika pensyaratan yang diajukan tidak disetujui
maka sebaiknya pemerintah Indonesia tidak meratifikasi perjanjian tersebut
karena hal itu tentunya akan merusak kepentingan – kepentingan negara serta
sistem hukum Indonesia
·
·
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU:
Amos,
Abraham. 2005. Sistem Ketatanegaraan
Negaraan Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Azhary,
Muhammad Tahir. 2004. Negara Hukum.
Prenada Media: Jakarta
Prajogo, Soesilo. 2007. Kamus Hukum Internasional dan Indonesia,
Cetakan pertama:Jakarta
Mauna, Boer.2008. Hukum Internasional.PT.Alumni:Bandung
KONVENSI
Konvensi Wina 1969 Tentang
Penjanjian Internasional, Foto Copy Naskah Transletnya ke Bahasa Indonesia
JURNAL
Widagdo,
setyo.2009.Akibat Hukum Suatu Pensyaratan
dalam Perjanjian Internasional.
Post a Comment for "MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL “Reservation of Multilateral Treaty”"